Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berwisata di Front Terdepan Pertempuran

Kompas.com - 11/11/2013, 14:45 WIB
CHEONG, begitu pria usia 50 tahunan itu minta disapa, tampak santai dengan jaket hitam serta celana training biru dan sepatu kets warna putihnya. Dengan senyum ramah, Cheong mendekat dan melontarkan sapaan khas orang Korea, ”Annyonghaseyo.”

Dengan diterjemahkan pemandu wisata kami, Cheong mencoba mengajak bicara rombongan jurnalis asal sejumlah negara, peserta program beasiswa Kwanhun-Korea Press Foundation 2013.

Kabut masih sedikit menyelimuti Desa Haemaru, salah satu dari tiga desa yang berlokasi paling dekat dengan kawasan demiliterisasi (DMZ) di sisi Korsel.

Desa yang dipimpin Cheong itu memang menjadi salah satu titik tujuan wisatawan yang datang ke lini terdepan perseteruan antar-kedua Korea itu.

Secara teknis, kedua Korea masih berperang walau Perang Korea, yang pecah mulai 25 Juni 1950, itu telah berhenti dengan ditandatanganinya perjanjian gencatan senjata pada 27 Juli 1953.

”Kami tidak takut tinggal di sini. Saya memang sengaja ingin menikmati masa pensiun di kampung halaman. Dahulu saya bekerja di Seoul,” ujar Cheong.

Saat ini dia menjabat kepala desa di wilayah yang memang dirancang berpopulasi 60 keluarga atau tak boleh lebih dari 150 jiwa itu. Lantaran tak banyak orang tinggal, kawasan DMZ dan sekitarnya terbilang masih sangat alami.

Menurut Cheong, warganya masih kuat bekerja sebagai petani. Produk pertanian organik dari wilayah itu sangat terkenal dan dihargai mahal, menyaingi produk serupa dari Pulau Jeju.

Suasana di desa Cheong terbilang sepi dengan bangunan perumahan modern berhalaman luas dan asri. Hanya satu dua mobil tampak lalu lalang atau terparkir di depan rumah.

Beberapa warga yang tampak pun memang terbilang sudah berusia lanjut. Desa itu juga dibuka sebagai desa wisata di mana para turis bisa menginap dan merasakan kehidupan keseharian di sana.

Kawasan wisata tertata

Berwisata di kawasan sekitar DMZ itu memang terbilang menjadi pengalaman yang sangat berkesan.

Mengutip pernyataan dosen studi Indonesia di Universitas Hankuk untuk Studi Asing (HUFS), Maman S Mahayana, yang ditemui terpisah, Pemerintah Korsel telah sangat berhasil mengubah kawasan tersebut.

Lokasi yang jadi simbol trauma perang masa lalu kini menjadi kawasan yang bisa menjadi bahan ajar sejarah negeri itu bagi generasi penerus.

Tak hanya itu, Pemerintah Korsel juga berhasil mengubah daerah paling berbahaya itu menjadi kawasan wisata sejarah menarik, yang mampu menarik devisa dari para wisatawan asing yang datang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com