Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berburu Kue Selepas Malam

Kompas.com - 12/11/2013, 07:58 WIB

Khairana menceritakan, ia bisa membuat sikaporo dan sala’ lantaran membantu ibunya di dapur sejak 32 tahun lalu. Adapun Sarifa tidak ingat sudah berapa tahun ia membuat sikaporo. Yang pasti, ia belajar membuat sikaporo dan sala’ dari almarhumah ibunya, Jaisah. Jaisah belajar bikin sikaporo dari orangtuanya. Seperti itu seterusnya turun-temurun. Begitulah, keterampilan membuat sikaporo dan sala’ diturunkan dari generasi ke generasi. Hanya sikaporo dan sala’, kue yang lain tidak.

Asdar yang lahir dan besar di Pangkep menjelaskan, leluhur Sarifa dan Khairana dulunya adalah pelayan Kerajaan Pangkajene yang khusus membuat sikaporo. ”Setiap pelayan ketika itu hanya membuat satu-dua kue yang spesifik. Mereka tidak bisa membuat kue yang lain,” tambah Asdar yang neneknya juga juru masak kerajaan.

Apa yang dikatakan Asdar itu bisa menjelaskan mengapa pembuat kue sikaporo tersisa hanya segelintir orang. Secara umum, kata antropolog dari Universitas Hasanuddin, Tasripin Tahara, resep masakan di masyarakat Bugis-Makassar memang diwariskan secara eksklusif hanya kepada keluarga dekat saja. Pewaris akan berusaha mengikuti resep tersebut seutuhnya.

Tengoklah Sarifa dan Khairana. Mereka juga mengolah sikaporo dan sala’ dengan cara yang sama seperti diajarkan tetuanya. Mereka menumbuk sendiri beras menjadi tepung dengan alu dan lumpang warisan tetua. Bahkan, dulu, mereka menanam sendiri padi yang berasnya dijadikan bahan sikaporo.

Suatu siang, kami melihat Sarifa menumbuk lima liter beras di kolong rumah panggungnya. Ia mengeluarkan banyak tenaga untuk menghaluskan beras. Selanjutnya, ia menyaring beras yang telah hancur itu dengan kain kerudung yang pori-porinya amat rapat. Hasilnya, tepung yang dihasilkan sangat halus. Pekerjaan berat menumbuk beras dilakoni Sarifa mulai pukul 10.00 dan baru selesai pukul 17.00. Setelah itu, tepung beras itu ia olah bersama Khairana menjadi sikaporo dan sala’ pukul 17.00. Pukul 19.00, kue matang, selanjutnya Sarifa dan Khairana menunggu pembeli datang. Saat sepi, mereka begadang menunggu pembeli yang mengetuk pintu dapurnya di tengah malam.

Seloyang sikaporo yang dibuat dengan usaha amat keras itu mereka jual hanya Rp 7.500, sedangkan sala’ Rp 15.000. ”Keuntungannya Rp 45.000 per hari. Yang penting cukup untuk beli beras lagi,” ujar Sarifa.

Meski hasil usahanya tidak seberapa, Sarifa dan Khairana menegaskan, mereka akan terus membuat sikaporo dan sala’. ”Kami hanya bisa buat kue itu, sudah jadi tradisi keluarga,” tambah Khairana.

Begitulah, kedua perempuan tua itu bukan sekadar pembuat kue. Mereka bisa dikatakan penjaga tradisi Bugis-Makassar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com