Jalur ziarah para pejalan melintasi Galicia, yang membentang dari perbatasan Perancis-Spanyol, menuju Santiago de Compostela, di Barat Daya Spanyol, adalah jambang alam yang menyimpan kisah manusia, menit ke menit dari abad ke abad.
Keheningannya seperti bejana raksasa yang menampung berapa pun besar beban kesedihan, kekecewaan, keraguan, ketakutan, kemarahan, kekejaman, sekaligus keberanian, ketetapan hati, kebahagiaan, penerimaan, dan rasa syukur.
Saat melintasi jalanan kasar, dipagari pohon apel dan blackberry yang menjuntai lebat, Anita (77) berhenti. Pandangannya lurus, tetapi tampaknya ia tidak sedang menatap pemandangan surgawi yang terhampar di antara Peruscallo dan Portomarin.
Matanya mulai basah. Ia terisak ketika Iza, teman seperjalanan yang setia mendengarkannya, menunjuk empat kupu-kupu kuning yang terbang mendekat dan empat tato kupu di lengan Anita.
”Ini lambang suamiku, ini sahabatku, ini anak sulungku dan ini satu-satunya anak perempuanku. Kulakukan Camino ini untuk mereka,” tutur Anita.
Di jalanan itu ia teringat mereka, tetapi tangisan itu untuk anak perempuannya. Meski telah lewat belasan tahun, Anita masih tak bisa menerima kenyataan, anaknya tewas karena narkoba.
Panggilan Jiwa
The Camino Santiago de Compostela, lazim disebut sebagai ’Camino’ atau ’jalan’ dinyatakan sebagai jalur Budaya Eropa pertama oleh Konsil Eropa, tahun 1987, dan sebagai Warisan Kebudayaan Manusia oleh Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Sains dan Budaya (Unesco) tahun 1993.
Cherry (40) merasa terpanggil sebelum memutuskan jalan 780 kilometer menuju Camino Santiago. Ia terbang dari Hongkong ke Paris, lalu naik kereta api ke Roncesvalles. Dari kota dengan ketinggian 900 meter di atas permukaan laut di kawasan Pyrenees, atau sekitar delapan kilometer dari perbatasan Perancis-Spanyol itu, ia memulai perjalanannya.
Selama 43 hari, ia berangkat pagi buta dan berhenti kala matahari tenggelam, melintasi jalanan mendaki, menurun, bergelombang, kadang berkerikil, kadang licin, kadang kasar, berdebu dan berbatu.
Barang bawaannya hanya satu, tas punggung berukuran sedang, dan tidur di mana pun yang tersedia di sepanjang perjalanan. Ia makan seadanya, dan hanya berhenti kalau menumpang buang air kecil. Ia tak bicara tentang dirinya, peziarahan dan hal-hal terkait religiositas. Namun dikatakan, inilah perjalanan paling mengesankan dalam hidupnya.
”Saya sangat bahagia bisa melakukannya,” ujarnya saat bertemu di Palas de Rei dan kemudian di Boente, sekitar 50 kilometer dari Camino de Santiago.
Di jalanan, kami bertemu seorang biarawati dan tiga anak muda dari Korea. Ada satu keluarga, dengan dua anak, satu masih anak balita dari Canary Island, yang melakukan perjalanan 200 kilometer sebagai ungkapan terima kasih karena dikaruniai anak kedua.
Pemandu kami, Rui Ribeiro (38), berbagi pengalaman tentang pertemuannya dengan dua pejalan dari Palestina, dan remaja Indonesia berusia 19 tahun yang berjalan melalui Jalur Perancis menuju Camino Santiago, lalu melanjutkannya ke Jalur Portugal.
Mengetuk kesadaran
Compostela, yang berarti The Field of Stars atau Dataran Penuh Bintang, diyakini berada di jalur sistem Bima Sakti (Milky Way) yang menyimpan berlimpah ruah energi kehidupan. Berjalan di bawah jalur itu, meski sendiri, tak pernah benar-benar sendiri. Seperti selalu ada yang menemani, selain langkah orang di depan atau di belakang, dengan sapaan ringan, ”Buena días” dan ”Buen Camino”.
Tak jarang kisah-kisah yang menjadi beban hidup dibagi dengan orang tak dikenal di perjalanan tanpa khawatir dihakimi. Namun lebih sering, keheningan yang hadir di antara desau angin dan desir air di sungai-sungai kecil, telah lebih dulu melarutkan semua kepedihan. Perasaan ringan menyelinap saat melepaskan lelah di perut pohon oak tua di hutan. Jiwa yang kering seperti dibasuh embun yang menyelimuti jalan-jalan setapak.
Perjalanan delapan hari sepanjang 110 kilometer dan pergulatan yang intens dengan diri sendiri, tampaknya mengubah Anita. Pemilik beberapa apartemen di San Francisco, Amerika Serikat, itu seperti tiba pada titik kesadaran baru. Sebab kematian putrinya tak lagi penting baginya. ”Urusan dengan anak perempuanku sudah selesai,” ujar Anita dengan wajah cerah, saat menapaki lantai batu di alun-alun katedral.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.