Selama 43 hari, ia berangkat pagi buta dan berhenti kala matahari tenggelam, melintasi jalanan mendaki, menurun, bergelombang, kadang berkerikil, kadang licin, kadang kasar, berdebu dan berbatu.
Barang bawaannya hanya satu, tas punggung berukuran sedang, dan tidur di mana pun yang tersedia di sepanjang perjalanan. Ia makan seadanya, dan hanya berhenti kalau menumpang buang air kecil. Ia tak bicara tentang dirinya, peziarahan dan hal-hal terkait religiositas. Namun dikatakan, inilah perjalanan paling mengesankan dalam hidupnya.
”Saya sangat bahagia bisa melakukannya,” ujarnya saat bertemu di Palas de Rei dan kemudian di Boente, sekitar 50 kilometer dari Camino de Santiago.
Di jalanan, kami bertemu seorang biarawati dan tiga anak muda dari Korea. Ada satu keluarga, dengan dua anak, satu masih anak balita dari Canary Island, yang melakukan perjalanan 200 kilometer sebagai ungkapan terima kasih karena dikaruniai anak kedua.
Pemandu kami, Rui Ribeiro (38), berbagi pengalaman tentang pertemuannya dengan dua pejalan dari Palestina, dan remaja Indonesia berusia 19 tahun yang berjalan melalui Jalur Perancis menuju Camino Santiago, lalu melanjutkannya ke Jalur Portugal.
Mengetuk kesadaran
Compostela, yang berarti The Field of Stars atau Dataran Penuh Bintang, diyakini berada di jalur sistem Bima Sakti (Milky Way) yang menyimpan berlimpah ruah energi kehidupan. Berjalan di bawah jalur itu, meski sendiri, tak pernah benar-benar sendiri. Seperti selalu ada yang menemani, selain langkah orang di depan atau di belakang, dengan sapaan ringan, ”Buena días” dan ”Buen Camino”.
Tak jarang kisah-kisah yang menjadi beban hidup dibagi dengan orang tak dikenal di perjalanan tanpa khawatir dihakimi. Namun lebih sering, keheningan yang hadir di antara desau angin dan desir air di sungai-sungai kecil, telah lebih dulu melarutkan semua kepedihan. Perasaan ringan menyelinap saat melepaskan lelah di perut pohon oak tua di hutan. Jiwa yang kering seperti dibasuh embun yang menyelimuti jalan-jalan setapak.
Suasana seperti itu membuat banyak orang ingin mengulang perjalanan itu. Katedral di kota tua Santiago de Compostela bukan lagi tujuan. Seperti Michael (42) dari Paris, yang kembali menyusur hutan, melintas desa dan kota sepanjang 700 kilometer menuju Camino Santiago melalui rute berbeda.
Perjalanan delapan hari sepanjang 110 kilometer dan pergulatan yang intens dengan diri sendiri, tampaknya mengubah Anita. Pemilik beberapa apartemen di San Francisco, Amerika Serikat, itu seperti tiba pada titik kesadaran baru. Sebab kematian putrinya tak lagi penting baginya. ”Urusan dengan anak perempuanku sudah selesai,” ujar Anita dengan wajah cerah, saat menapaki lantai batu di alun-alun katedral.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.