Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Blusukan" Menyelami Sejarah

Kompas.com - 14/11/2013, 12:50 WIB
MEMPELAJARI sejarah kurang asyik jika hanya dengan membaca buku. Maka, komunitas Blusukan Solo ”blusukan” keluar masuk kampung, menyusuri gang sempit, ataupun menyeberang sungai demi mengunjungi langsung lokasi-lokasi bersejarah.

Dengan blusukan itu, mereka bisa menggali tidak hanya cerita yang tertoreh di buku, melainkan juga beroleh fakta tentang kondisi tempat bersejarah tersebut. Mereka juga bisa mendapatkan cerita-cerita yang boleh jadi belum pernah tertulis dalam literatur.

Saat blusukan ke Astana Oetara, yakni kompleks makam Mangku Negara VI di Kampung Nayu, Kelurahan Nusukan, Banjarsari, Solo, rombongan komunitas Blusukan Solo melewati beberapa tempat lain terlebih dahulu. Tempat itu antara lain rumah kediaman keluarga Patih Darmonagoro yang lokasinya persis di belakang Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 8 Solo. Rumah yang sebagian besar masih mempertahankan bentuk dan ornamen asli itu ditempati keturunan sang patih.

KOMPAS/SRI REJEKI Rombongan Blusukan Solo bersiap berangkat dan mendengarkan penjelasan singkat sebelum mengayuh sepeda masing-masing menelusuri rute blusukan saat itu menuju Astana Oetara, kompleks makam Mangkunegara VI di Kampung Nayu, Nusukan, Banjarsari, Solo.
Sebelumnya, rombongan yang kali ini diikuti lebih dari 40 peserta melewati Kampung Kebalen yang dahulu dihuni orang-orang dari Bali yang bekerja sebagai pelaut. Mereka berkumpul di Ngarsapura, tepatnya di depan SMP Negeri 5. Tempat tersebut juga bersejarah. Bangunan SMP 5, SMP 10, dan gedung Majelis Tafsir Al Quran yang terletak saling berdekatan dahulu merupakan satu bangunan, yakni Hollandsche Indies School. Ngarsapura, yang berasal dari kata ngarsa atau depan dan pura, dahulu merupakan pasar yang memasok kebutuhan Mangkunegaran.

Saat berkunjung ke Astana Oetara, rombongan disuguhi ledre dan garang asem, makanan mewah pada zamannya yang menjadi kesukaan Mangku Negara VI. Bahkan, makanan yang disantap rombongan saat blusukan pun diusahakan mengandung cerita, yakni pusaka kuliner yang menemani perjalanan sejarah selama ini.

Bermula dari Solo

Komunitas Blusukan Solo berawal dari kumpulan beberapa anak muda yang kerap menjadi relawan berbagai acara di Kota Solo dengan minat yang sama, yakni ingin mendalami sejarah kotanya. Mereka kemudian menjajal kegiatan pertama, yakni mendalami asal-usul nama Solo. Dari sini berkembang menjadi kegiatan rutin bulanan dengan lokasi dan tema berbeda.

”Kami awalnya blusukan untuk mengetahui asal-usul nama Solo. Eh, ternyata ketagihan, jadilah setiap bulan kami bikin kegiatan,” kata Koordinator Blusukan Solo, Fendy Fawzi Alfiansyah.

KOMPAS/SRI REJEKI Mengunjungi kediaman Patih Darmonagoro dari Keraton Surakarta. Rumah ini kini dihuni keluarga ahli warisnya.
Hingga kini, sudah lebih dari 18 tema yang mereka gelar sejak komunitas ini memulai kegiatan pada Maret 2012. Acara blusukan digelar sebulan sekali dan biasanya mengambil waktu hari Sabtu atau Minggu. Rute blusukan biasanya ditempuh dengan cara bersepeda, berjalan kaki, atau menumpang andong, seperti dilakukan saat Blusukan Solo mendampingi Putra Putri Solo mengunjungi beberapa kediaman atau ndalem pangeran.

Beberapa tema yang sudah sempat digelar antara lain Harmoni Sosial Kampung Sudiroprajan, Blusukan Ndalem Pangeran, Pabrik Gula Colomadu, Kayuh Sejarah Gereja Tua, Mengayuh Nostalgia Bengawan, Daur Masa Kampoeng Laweyan, Mangkunegaran Pelopor Kota Modern, dan Tafsir Lukisan Malam.

Di dalam satu tema, biasanya rute disusun dengan melewati beberapa lokasi. Panitia dan narasumber akan menjelaskan tentang lokasi yang dikunjungi dari berbagai aspek, mulai dari asal-usul nama, kondisi sosial, kuliner, hingga corak arsitektur bangunan. Pernah suatu ketika peserta tidak diberi tahu lebih dulu rute blusukan. Hal itu dimaksudkan untuk mengetes respons peminat. Ternyata cukup banyak peserta yang rela bergabung dengan kegiatan yang saat itu diberi nama Dolan Bersama Blusukan Solo.

Peserta blusukan berasal dari berbagai latar belakang. Selain dari Solo, mereka juga datang dari kota-kota lain seperti Yogyakarta, Semarang, hingga Jakarta. Tidak jarang turis asing yang sedang berada di Solo turut bergabung. Salah satu peserta, Budiman (57), rela datang dari Yogyakarta dengan menunggang sepeda motor. Budiman, guru di sebuah sekolah menengah kejuruan, meminati sejarah. Ia juga memanfaatkan kegiatan ini untuk menemani anaknya, Windu (20), mahasiswa jurusan arkeologi, blusukan sambil memotret.

Peserta diajak menumpang bus umum menuju kaki Gunung Lawu di Kabupaten Karanganyar untuk melihat, antara lain, kebun dan pabrik karet yang dibangun sejak zaman Belanda dan Monumen RRI. Sebagian rute itu ditempuh dengan menumpang mobil bak terbuka yang memberikan pengalaman berbeda bagi peserta.

KOMPAS/SRI REJEKI Blusukan ke rumah kuno bekas juragan kulit di Kelurahan Sudiroprajan yang menjadi kantong warga keturunan Tionghoa di Kota Solo. Sejak dulu penduduk asli Jawa dan keturunan Tionghoa hidup berdampingan dan berasimilasi, antara lain melalui perkawinan.
Bendahara Blusukan Solo, Ayudinda (22) mengungkapkan, panitia akan melakukan survei lebih dulu sebelum menentukan lokasi dan rute yang akan ditempuh. Mereka juga mencari narasumber, kebanyakan orang setempat untuk bercerita kepada peserta blusukan. Informasi rencana blusukan disebarkan lewat Twitter @blusukansolo. Kegiatan ini tidak mematok biaya tertentu, tetapi hanya donasi untuk makan bersama, suvenir, atau memberikan penghargaan kepada narasumber. Tidak jarang, kegiatan blusukan digelar gratis. Peserta hanya perlu menyiapkan bekal, tenaga, dan mengerahkan segala indra untuk menyerap sebanyak mungkin informasi.

Dengan memahami sejarah, orang akan tahu dari mana mereka berasal sehingga mereka pun akan tahu ke mana harus melangkah. (Sri Rejeki)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com