Dengan blusukan itu, mereka bisa menggali tidak hanya cerita yang tertoreh di buku, melainkan juga beroleh fakta tentang kondisi tempat bersejarah tersebut. Mereka juga bisa mendapatkan cerita-cerita yang boleh jadi belum pernah tertulis dalam literatur.
Saat blusukan ke Astana Oetara, yakni kompleks makam Mangku Negara VI di Kampung Nayu, Kelurahan Nusukan, Banjarsari, Solo, rombongan komunitas Blusukan Solo melewati beberapa tempat lain terlebih dahulu. Tempat itu antara lain rumah kediaman keluarga Patih Darmonagoro yang lokasinya persis di belakang Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 8 Solo. Rumah yang sebagian besar masih mempertahankan bentuk dan ornamen asli itu ditempati keturunan sang patih.
Saat berkunjung ke Astana Oetara, rombongan disuguhi ledre dan garang asem, makanan mewah pada zamannya yang menjadi kesukaan Mangku Negara VI. Bahkan, makanan yang disantap rombongan saat blusukan pun diusahakan mengandung cerita, yakni pusaka kuliner yang menemani perjalanan sejarah selama ini.
Bermula dari Solo
Komunitas Blusukan Solo berawal dari kumpulan beberapa anak muda yang kerap menjadi relawan berbagai acara di Kota Solo dengan minat yang sama, yakni ingin mendalami sejarah kotanya. Mereka kemudian menjajal kegiatan pertama, yakni mendalami asal-usul nama Solo. Dari sini berkembang menjadi kegiatan rutin bulanan dengan lokasi dan tema berbeda.
”Kami awalnya blusukan untuk mengetahui asal-usul nama Solo. Eh, ternyata ketagihan, jadilah setiap bulan kami bikin kegiatan,” kata Koordinator Blusukan Solo, Fendy Fawzi Alfiansyah.
Beberapa tema yang sudah sempat digelar antara lain Harmoni Sosial Kampung Sudiroprajan, Blusukan Ndalem Pangeran, Pabrik Gula Colomadu, Kayuh Sejarah Gereja Tua, Mengayuh Nostalgia Bengawan, Daur Masa Kampoeng Laweyan, Mangkunegaran Pelopor Kota Modern, dan Tafsir Lukisan Malam.
Di dalam satu tema, biasanya rute disusun dengan melewati beberapa lokasi. Panitia dan narasumber akan menjelaskan tentang lokasi yang dikunjungi dari berbagai aspek, mulai dari asal-usul nama, kondisi sosial, kuliner, hingga corak arsitektur bangunan. Pernah suatu ketika peserta tidak diberi tahu lebih dulu rute blusukan. Hal itu dimaksudkan untuk mengetes respons peminat. Ternyata cukup banyak peserta yang rela bergabung dengan kegiatan yang saat itu diberi nama Dolan Bersama Blusukan Solo.
Peserta blusukan berasal dari berbagai latar belakang. Selain dari Solo, mereka juga datang dari kota-kota lain seperti Yogyakarta, Semarang, hingga Jakarta. Tidak jarang turis asing yang sedang berada di Solo turut bergabung. Salah satu peserta, Budiman (57), rela datang dari Yogyakarta dengan menunggang sepeda motor. Budiman, guru di sebuah sekolah menengah kejuruan, meminati sejarah. Ia juga memanfaatkan kegiatan ini untuk menemani anaknya, Windu (20), mahasiswa jurusan arkeologi, blusukan sambil memotret.
Peserta diajak menumpang bus umum menuju kaki Gunung Lawu di Kabupaten Karanganyar untuk melihat, antara lain, kebun dan pabrik karet yang dibangun sejak zaman Belanda dan Monumen RRI. Sebagian rute itu ditempuh dengan menumpang mobil bak terbuka yang memberikan pengalaman berbeda bagi peserta.
Dengan memahami sejarah, orang akan tahu dari mana mereka berasal sehingga mereka pun akan tahu ke mana harus melangkah. (Sri Rejeki)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.