Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Trowulan, "Menyatukan" Kota Majapahit

Kompas.com - 16/11/2013, 20:32 WIB

Candi yang berfungsi sebagai tempat pemujaan tersebut tingginya 25 meter dengan kaki candi seluas 18 meter x 22,5 meter. Seluruh konstruksinya menggunakan batu bata. Namun, ketika dipugar, sebagian tubuh candi yang runtuh diganti batu bata baru.

Meski arkeolog menemukan bukti bahwa candi itu hanya difungsikan sebagai tempat menyimpan abu raja-raja, warga setempat punya cerita lain. ”Orang sini percaya bahwa Candi Brahu dipakai sebagai tempat pembakaran mayat raja-raja Majapahit,” kata Marsaid, juru pelihara Candi Brahu.

Kami diizinkan untuk naik ke kaki candi yang lebar, yang sebenarnya terlarang untuk pengunjung. Tidak ada tangga batu untuk naik ke tubuh candi. Padahal, di situ ada ruangan kosong tempat arkeolog menemukan sisa karbon. ”Hal itu membuat masyarakat percaya ini dulu tempat pembakaran mayat,” kata Marsaid.

Dari abad X

Candi Brahu diperkirakan dari abad X, masa sebelum Kerajaan Majapahit berdiri. Itu merupakan candi yang dibangun pada masa peralihan kekuasaan Mataram Kuno di Jawa Tengah ke Jawa Timur. Dari prasasti Alasantan disebutkan, candi dibangun atas perintah Mpu Sendok, raja Mataram Kuno.

Menurut daftar inventaris lama Badan Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur, Brahu dulu dikelilingi empat candi yang lebih kecil, yaitu Candi Gentong, Muteran, Gedhong, dan Candi Tengah. Dari empat candi itu, hanya Candi Gentong yang masih ada. Candi Gentong hanya berjarak sekitar 360 meter dari Candi Brahu.

Candi Brahu yang merupakan sinkretisme Hindu-Buddha dipugar dua kali, tahun 1920 oleh Belanda dan tahun 1990-1995 oleh Pemerintah Indonesia.

Situs Kedaton yang berada di Desa Kedaton juga sisa permukiman masa Majapahit. Lokasinya jauh dari Brahu. Di situs itu ditemukan kaki candi yang di dalamnya pernah ditemukan empat kerangka perempuan. ”Dua kerangka ditemukan di sudut-sudut kaki candi,” kata Karsono, juru pelihara situs Kedaton.

Candi Kedaton, kata Karsono, merupakan tempat bermusyawarah. Bangunan itu hanya tersisa kaki candi karena bagian atas berbentuk pendopo ditopang tiang kayu, beratap ijuk.

Tidak jauh dari situ ada lubang-lubang bekas galian yang berisi struktur lapisan batu bata. Ada dua lapisan struktur, di bagian bawah tampak deretan batu bata tersusun rapi, bahkan tertutup plester dari batu kapur.

Lapisan di atasnya berupa batu bata yang tersusun tidak rapi dengan ukuran batu bata lebih kecil dari lapisan bawah. Hal itu membuktikan ada dua lapisan budaya berbeda. Diperkirakan lapisan bawah dibangun saat Trowulan masih menjadi kota saat Majapahit berjaya. Adapun lapisan atas merupakan masa setelah Majapahit terpuruk.

”Dari bangunan tembok yang kurang rapi terindikasi bahwa Trowulan menjadi kota yang mulai ditinggalkan,” kata Nurhadi Rangkuti yang pernah meneliti permukiman Majapahit.

Moendardjito mencoba memetakan kota kuno itu berdasarkan hasil sebaran temuan permukaan di wilayah Trowulan. Ketika arkeolog Belanda menemukan kanal-kanal kota Majapahit dari citra satelit, ia menyimpulkan daerah di sekitar kanal itu merupakan pusat keramaian kota. Sebagian arkeolog menduga itu ibu kota kerajaan. (Lusiana Indriasari)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com