Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gedung Ibadah di Kota Tua

Kompas.com - 17/11/2013, 15:40 WIB
Oleh: Windoro Adi

Ada banyak museum di Kota Tua—Museum Jakarta, Museum Keramik, Museum Wayang, Museum Bank Mandiri, Museum Bank Indonesia, dan Museum Bahari. Bosan dengan itu, ternyata ada sederet gedung ibadah yang menjadi saksi kemegahan dan keakraban masyarakat yang tinggal di Batavia.

Yuk menyusur gedung-gedung ibadah tersebut. Ada beragam rumah ibadah di Kota Tua. Jika langkah mulai menyusuri Jalan Perniagaan Raya menuju Jalan Tubagus Angke, ada beberapa masjid dan langgar yang sudah berusia lebih dari 100 tahun. Di tepi Kali Angke, dekat persimpangan Jalan KH Moh Mansyur Jembatan Lima-Jalan Tubagus Angke, tak jauh dari Jalan Perniagaan Raya, tampak gedung Langgar Tinggi yang dibangun tahun 1833 atau 1249 Hijriah. Hingga kini, masih digunakan untuk ibadah.

Ketika itu, langgar ini menjadi tempat favorit bagi pedagang serta awak perahu dan rakit yang datang dari Banten dan Tangerang.

Dari sana mereka membawa bahan-bahan bangunan, beraneka buah dan rempah, serta bermacam barang kelontong dan tekstil yang akan mereka jual di Batavia. Mereka menyusuri Kali Cisadane ke sodetan kali bernama Mookevart (di tepian Jalan Daan Mogot) sebelum masuk ke Kali Angke.

Langgar dengan luas lantai dasar 8 x 24 meter ini berada di lingkungan RT 002 RW 001, Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora. Lantai bawah digunakan sebagai tempat wudu dan tempat penginapan pedagang serta awak rakit dan perahu.

Arsitektur langgar berunsur Eropa klasik tampak pada tiang-tiangnya, dipadu unsur China pada penyangga balok-balok kayunya dan Jawa pada denah dasarnya.

Tak jauh dari langgar terdapat masjid tertua di Jakarta yang masih berdiri, Masjid Al Anshor (1648), di Jalan Pengukiran II. Juga Masjid Annawar (1760) di Jalan Pekojan Nomor 71.

Di seberang Kali Angke, di Gang Mesjid 1, berdiri Masjid Angke atau Masjid Al Anwar (1761) yang dibangun seorang kontraktor China untuk orang Bali yang beragama Islam.

Selain Masjid Angke, ada pula Masjid Kebon Jeruk (1786) yang berarsitek Bali, Belanda, Jawa, dan China. Lokasi masjid ini berada di Jalan Hayam Wuruk Nomor 8 (masih di lingkungan Jakarta Barat, tetapi sudah di luar batas Kota Tua).

Tentang kedua masjid ini, penulis banyak buku tentang Batavia, Heuken SJ, menyebutkan, orang Belanda menganggap kaum pribumi adalah orang-orang yang tinggal di tanah Jawa. Jadi, orang pribumi itu orang Jawa. Orang Jawa itu beragama Islam. Artinya, tunduk pada peraturan hukum Islam. Maka, orang Bali yang tinggal di tanah Jawa (termasuk Batavia) yang beragama Hindu pun harus tunduk pada hukum Islam.

Berbeda dengan orang-orang China yang masuk Islam kala itu. Mereka masuk Islam agar dianggap golongan pribumi sehingga mereka bisa bebas dari pajak kuncir rambut dan beban pajak lainnya yang hanya ditanggung orang China.

Klenteng

Jangan heran apabila jumlah masjid di kawasan Kota Tua jauh lebih sedikit daripada jumlah klenteng di sana. Sebab, ada satu masa di era Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Persatuan Dagang Hindia Timur, jumlah orang China mendominasi Batavia.

Dari perempatan Jalan Perniagaan Barat-Tambora 8 dan Jalan Perniagaan Raya-Pangeran Tubagus Angke, masuklah ke Jalan Tambora 8 di tepi Kali Opak. Tak berapa lama menyisir jalan tersebut, di sisi kiri jalan akan tampak gapura dengan papan bertulis ”Kwan Tee Bio d/n Lamceng, Jakarta Barat”, pertanda masuk ke kompleks Kelenteng Arya Marga atau Nan Jing Miao.

Klenteng dibangun di atas tanah seluas 3.000 meter persegi, dikelilingi 12 rumah petak sewa milik yayasan pengelola klenteng. Klenteng terbagi dalam empat ruang besar.

Di ruang belakang ada dua altar untuk menghormati mendiang Kapitan The Liong Hui. Di atas altar utama disimpan abu dan patung kayu sang kapitan asal Nanjing, Kabupaten Zhanzhou (Fujian) itu.

Tahun 1824, Kapitan The membangun kelenteng ini. Karena tidak memiliki keturunan, seluruh kekayaan ia habiskan untuk membangun rumah ibadah ini. Pengelolaan rumah ibadah ia percayakan kepada Tjhung See Gan.

Agar biaya pemeliharaan kelenteng terjamin, tahun 1839 Kapitan The meminta Tjhung membangun 12 rumah petak sewa yang hasil sewanya untuk ”menghidupi” kelenteng.

Sepeninggal Tjhung, kelenteng terbengkalai dan menjadi tempat tinggal pengemis. Beruntung, kondisi merana tersebut berakhir setelah tahun 1978, kelenteng dibersihkan, dikelola, dan dirawat Kepala Kelenteng Basri Oemar (Oey Sek Hai).

Jika dibandingkan dengan plafon Kelenteng Tian-Hou atau Wihara Dewi Samudera (1784) di Bandengan Selatan atau dengan Kelenteng Feng-shan Miao (1751) di Jalan Kemenangan III/48, plafon Kelenteng Kapitan The pasti kalah indah.

Altarnya pun kalah bagus dengan altar yang ada dalam Kelenteng Lu Ban Gong (1784) yang terletak di Jalan Bandengan Selatan 36. Meskipun demikian, Kelenteng Arya Marga menjadi satu-satunya kelenteng yang dibangun kapitan China di Batavia.

Pada periode 1812-1847, pembangunan kelenteng (Taois) dan wihara (Buddhis) umumnya dilakukan kongsi dagang dan lebih banyak ditujukan menghormati dewa dagang atau yang berhubungan dengan perdagangan. Lingkungan kelenteng pun sering dijadikan tempat pertemuan untuk membahas rencana bisnis.

Sebelum era ini, kelenteng di Kota Tua dibangun dengan berbagai tujuan. Dewa yang diletakkan di altar pun beragam, tidak didominasi dewa dagang. Kegiatan sosial kemasyarakatan di lingkungan kelenteng lebih sering dilakukan daripada pertemuan-pertemuan dagang.

Kelenteng Li Tie-guai atau Wihara Budhidharma di Jalan Perniagaan Selatan, yang menjadi tempat beribadah orang China terpopuler di kawasan Glodok, adalah salah satu kelenteng yang dibangun untuk dua di antara ”Delapan Hyang Mulia”, pelindung kongsi dagang.

Gereja

Di sudut Jalan Pangeran Jayakarta dan Jalan Mangga Dua berdiri megah Gereja Sion. Sebuah mimbar bergaya barok karya H Bruyn (1695) berdiri di tengah altar. Di atasnya terpasang kanopi Gereja Kubah, yang juga ada kota Batavia tapi sudah dibongkar Gubernur Jenderal Belanda Daendels tahun 1808.

DHONI SETIAWAN Gereja Sion dikenal juga dengan nama Portugeesche Buitenkerk atau Gereja Portugis terletak di Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta Barat. Pembangunan Gereja dimulai pada tahun 1693 dan diresmikan 1695.
Pembuatan mimbar bersegi delapan dengan paduan ukiran China, Eropa, dan India ini menghabiskan biaya 260 ringgit, sedangkan biaya pembangunan gereja ini 3.000 ringgit pada 1695. Menghadap altar, di sebelah kanan, berderet kursi besar berukir buatan pertengahan abad ke-17. Kursi itu dibuat khusus bagi petinggi VOC, termasuk buat para Gubernur Jenderal Belanda. Di tengah atas sandaran kursi yang terbuat dari kayu hitam itu terukir kitab suci yang terbuka. Di kiri-kanannya ada dua malaikat kecil.

Di salah satu dinding gereja ada batu bertulis dalam bahasa Belanda yang artinya, ”Batu pertama gereja ini diletakkan 19 Oktober 1693 oleh Pieter van Hoorn”. Meski menjadi satu-satunya tempat ibadah umat Kristen di Kota Tua, kondisi gereja ini terawat baik dibandingkan dengan semua tempat ibadah bersejarah di Kota Tua. (JOS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com