"Halooooo...,” serunya riang begitu melihat kami datang. Lelaki yang merupakan anggota staf pelaksana di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Boven Digoel, Papua, itu pun kemudian mengantar kami mengelilingi kompleks penjara yang dibangun bertahap dan sudah ada ketika Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan para tokoh perjuangan lainnya dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda ke Digoel pada 1935.
Namun, Hatta tidak pernah ditahan di penjara tersebut. Hatta ditempatkan di sebuah rumah. Menurut Thimoteus, penjara tanpa bilik adalah ungkapan pas untuk menggambarkan kondisi Boven Digoel kala itu yang sepi dan memberikan cekaman kebosanan bagi mereka yang dibuang ke sana.
Sambil terus berkisah, Thimoteus membawa kami ke seberang penjara, yakni ke sebuah bangunan yang dahulunya menjadi tempat petugas mencatat data administratif tahanan. Bangunan itu kini lengang dan kusam. Kondisi sama juga dijumpai di bagian lain dalam kompleks penjara. Sebuah tembok berlumut kerak setinggi sekitar dua meter dengan kawat berduri di atasnya memisahkan halaman.
Di salah satu halaman, berdirilah bangunan yang difungsikan sebagai penjara. Sebuah papan dari pelat logam terpasang di atas ambang pintu. Tertera tulisan angka 16. Artinya, ruang tahanan itu mampu menampung 16 orang sekaligus.
Ruangan itu kini kosong dan berdebu. Di salah satu pojok ruangan dekat pintu terdapat semacam bilik dengan lantai berlubang. Itulah kakus tempat para tahanan dulu buang air yang ditampung dalam bak di bawah lubang. Ada tahanan yang kala itu bertugas memasukkan dan mengeluarkan bak kotoran itu melalui tingkap kecil yang membuka ke arah halaman.
”Ruang tahanan pertama ini risiko tinggi, artinya kalau masuk sini antara hidup dan mati. Mereka yang ditahan tidak bisa keluar ke mana-mana,” kata Thimoteus.
Sementara itu, penjara yang berada di halaman satu lagi diperuntukkan bagi mereka yang dinilai tidak terlalu berat kesalahannya. Di penjara dengan ukuran ruang bervariasi, mulai dari kapasitas 3 hingga 40 orang, tersebut penghuninya diperbolehkan keluar ke halaman. Di sisi halaman ini terdapat pula sebuah bangunan di bawah tanah.
”Orang bilang, ini bui bawah tanah. Tapi, sebenarnya ini gudang perbekalan gula, kopi, beras, minyak, kelapa, dan lain-lain. Perbekalan itu disimpan di bawah tanah untuk menghindari hama yang merusak,” kata Thimoteus.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.