Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Timbul Raharjo, Menjejak Geliat Tanah Liat

Kompas.com - 22/11/2013, 15:58 WIB
PATUNG Ganesha setinggi 30 sentimeter terbuat dari kayu di tangan Timbul Raharjo (44) itu terkesan seperti terbuat dari tanah liat. Timbul adalah pengusaha gerabah Kasongan, Bantul, Yogyakarta, yang memberikan sentuhan inovasi dan menerima penghargaan One Village One Product dari Pemerintah Jepang sebagai pelopor seni kerajinan Indonesia pada 2011.

”Ganesha ini bukan dari tanah liat. Ini patung dari kayu. Banyak pelanggan menghendaki patung ringan dan kuat sehingga dibuat bukan dari tanah liat, melainkan dari kayu,” kata Timbul di salah satu toko seni kerajinannya, di tepi Jalan Raya Bantul, Kasongan.

Patung Ganesha itu dominan berwarna putih. Warna terakota pada bagian tertentu berhasil menipu mata seolah patung itu terbuat dari tanah liat.

Timbul lahir di Kasongan dan tumbuh menjadi salah seorang pengusaha gerabah terbesar di Kasongan. Ia lulus S-1 Jurusan Seni Kriya, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, 1992. ”Bapak saya penjaga malam. Saya mandiri mengembangkan usaha ini sejak kuliah,” katanya.

Usaha Timbul menanjak sejak 1996, saat nilai rupiah terhadap mata uang asing anjlok dan terjadi krisis moneter. Dari keikutsertaan di Festival Kesenian Yogyakarta (FKY), ia memperoleh banyak pesanan gerabah untuk diekspor ke Eropa.

Timbul mengalami masa keemasan ekspor produk gerabah pada 1996 hingga 2007. Pada masa itu ekspornya mencapai 40 kontainer per bulan. Belakangan ini ekspor lesu. Dalam sebulan paling-paling dua-tiga kontainer.

Selain menjadi pengusaha dan perajin, sejak 1993 Timbul menjalani profesi dosen di almamaternya. Pada tahun 2000 ia menyelesaikan studi Master Humaniora di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Tahun 2008 ia menyelesaikan studi S-3 Humaniora UGM. Dia lalu menjadi Ketua Program Studi Tata Kelola Seni Pascasarjana ISI Yogyakarta sejak 2011 hingga kini.

Festival seni

Bersama seniman Yogyakarta yang lain, Timbul merintis Festival Seni Kasongan setiap akhir tahun. Pada 2013, untuk festival ketiga kalinya, diselenggarakan pada 23 November-7 Desember dengan tema ”Liat Geliat Tanah Liat”.

”Tema ini untuk merangsang kreativitas dan inovasi mengolah gerabah menjadi makin menarik, biar Kasongan menjadi desa wisata yang makin banyak diminati wisatawan,” kata Timbul.

Kuda tunggangan Kiai Song, laskar Pangeran Diponegoro yang merintis keberadaan Desa Kasongan menjadi penghasil gerabah, menjadi tema lomba kreativitas membuat gerabah. Istilah ”kasongan”, misalnya, diyakini merujuk dari nama Kiai Song.

Tak jauh dari Kasongan, sekitar 5 kilometer, terdapat situs bersejarah Goa Slarong. Pada 1825, goa ini menjadi lokasi persembunyian Pangeran Diponegoro dan menjadi markas untuk mengatur strategi perang melawan kolonial Hindia Belanda.

Diponegoro menyerah kepada kolonial Hindia Belanda dalam sebuah perundingan tahun 1830 di Magelang, Jawa Tengah. Diponegoro bersedia menyerah dengan syarat laskarnya yang tersisa tidak ditangkap.

Diponegoro pun memerintahkan laskarnya untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat. Kiai Song, diyakini warga, mewujudkan perintah itu di Kasongan. ”Kuda tunggangan Kiai Song juga pernah saya desain untuk hiasan gerbang memasuki Kasongan sebagai desa wisata,” cerita Timbul.

Festival Seni Kasongan tak sekadar meraih kemeriahan. Pada perhelatan ini disisipkan pula gerakan sosial supaya masyarakat kembali pada tradisi dengan kearifan lokal. Wujudnya, Festival Kereneng dengan lomba membuat kereneng dari bambu.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com