Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siapa Bilang Pera Itu Tidak Enak?

Kompas.com - 03/12/2013, 18:54 WIB
URANG Banjar yang mendiami Kalimantan Selatan memiliki cita rasa unik tentang lezat tidaknya nasi atau ketupat. Nasi dan ketupat justru disebut lezat jika terhidang pera, berbutir-butir, tidak pulen. Selera itu membuat banyak petaninya bertahan menanam beras ladang yang dikenal wangi, enak, dan pera.

Urang Banjar punya beragam menu ketupat atau nasinya dimasak dari beras ladang dan beras rawa, salah satunya ketupat kandangan yang pera, namun lezatnya minta ampun...

”Makan ketupat kok pakai sendok?” tanya Ira (30), salah satu penjual ketupat kandangan di daerah Negara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, yang terheran-heran melihat para pembelinya yang menyantap ketupat kandangan memakai sendok. ”Kalau orang Kandangan seperti kami, memakan ketupat kandangan ya pakai tangan. Ketupatnya diremas, dan pasti hancur karena berasnya pera,” kata Ira sambil mengacungkan tangan yang memeragakan gerakan memeras ketupat.

Sambil menyantap gurihnya santan kuah ketupat kandangan buatan Ira, kami mendengarkan lelucon tentang orang Kandangan yang bersusah-payah memasak beras menjadi ketupat hanya untuk diremuk di piring. Secara fisik ketupat kandangan sebenarnya sama dengan ketupat daerah lain. Makanan ini menggunakan cangkang (bungkus) daun kelapa muda yang dianyam memutar.

Bedanya, ketupat kandangan disajikan bersama lauk ikan haruan (gabus) asap dan kuah kental bersantan. Kadang disediakan tambahan telur itik dari daerah Alabio dan kerupuk. Ketupat yang diremas remuk akan tercerai-berai, berbutir-butir, wujudnya tak berbeda dari sepiring nasi pera. Seperti ketupat di piring kami, yang bahkan remuk terendam santan yang sungguh kental.

Aroma aneka bumbu berpadu dengan wangi sari daun bawang merah goreng yang tertabur di atas sajiannya. Namun aroma tertajam dari sajian itu adalah bau khas ikan haruan yang diasapi. Beberapa gumpal ketupat sepenuhnya hancur-lebur di mulut, dalam baluran gurihnya santan ternyata rasa pera ketupat kandangan membuat nikmat.

”Ketupat kandangan hanya bisa dibuat dari beras siam unus. Kalau pakai beras dari Jawa, ya jadinya pulen, tidak bisa pera seperti ketupat kandangan,” kata Ira.

Maskot kota

Nama ketupat kandangan diambil dari nama daerah yang menjadi asal hidangan itu, Kandangan, sebuah kota kecil, ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Selatan, berada sekitar 125 kilometer arah timur laut dari Banjarmasin, ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan. Memasuki Kota Kandangan terlihat betebaran warung yang menjajakan kedua kuliner itu, terutama di pinggir jalan utama penghubung Banjarmasin dengan Kota Balikpapan di Kalimantan Timur. Bahkan, tugu masuk Kandangan dari arah kota tetangga, Rantau, pun berbentuk ketupat besar.

Di Jalan Jenderal Sudirman, Kandangan, kami pun menjajal rasa ketupat kandangan di kandangnya. Di rumah makan yang dikelola Agustina Eriyani (33), kami kembali merasai sensasi menyantap ketupat berbentuk segitiga, berasa pera dan hancur bercampur kuah santan dan ikan haruan asapnya. Setiap harinya, Agustina menghabiskan 10 liter beras ladang atau siam. ”Kalau beras jawa tidak bisa dipakai. Nanti lembek hasilnya jika dibuat ketupat,” ucapnya.

Penasaran dengan beras lokal yang sulit ditinggalkan oleh masyarakat setempat, kami pun mengunjungi Pasar Dapur di Kandangan. Di salah satu sudut pasar terlihat sejumlah pedagang yang menjajakan beras secara terbuka menggunakan bak-bak yang terbuat dari papan. Beras-beras siam itu lebih langsing ketimbang beras unggul. Eka Pebriana (30), salah satu pedagang, menuturkan, menjual sekitar 10 macam beras, seperti siam banjar, mayang, mutiara, rukut, dan kardil. Ia juga menjual beras unggul, seperti ciherang dan pandan wangi.

Beras yang dijual Eka harganya bervariasi. Siam banjar, misalnya, harganya Rp 6.500-Rp 7.000 per liter, siam mayang Rp 10.000-Rp 11.000, dan siam mutiara Rp 7.000-Rp 8.000. Sementara beras luar, seperti ciherang hanya Rp 5.500-Rp 6.000 per liter. Unus mayang yang termahal, seharga 14.000 per liter, justru beras yang telah dipanen lebih dari dua tahun lalu. Beras yang menjadi bahan terbaik wadai atau kue sajian itu disimpan dalam bentuk gabah dan baru digiling ketika akan dijual.

”Yang paling banyak dapatnya siam kupang. Produktivitasnya tinggi. Dulu jenis ini banyak ditanam di Banjarmasin dan Banjar, tetapi sekarang banyak ditanam di sini (Hulu Sungai Selatan). Kalau yang dari dulu sampai sekarang selalu ada pasokan adalah siam kardil yang ukurannya lebih pendek,” ujarnya. Menurut Eka, dalam sebulan ia bisa menjual satu jenis beras lokal hingga 1 ton. Sementara beras unggul jumlahnya lebih kecil yang terjual.

Terjaga selera

Faturrahman, Kepala Bidang Tanaman Pangan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Selatan, mengatakan, beraneka jenis beras lokal, baik itu padi ladang maupun padi rawa, tetap lestari dan terus ditanam petani karena terus diminati pasar. Di Kalimantan Selatan masih dikenal berpuluh beras lokal.

”Secara umum, semua padi lokal boleh disebut sebagai siam unus. Beras itu dimuliakan dan dibenihkan oleh para petaninya sendiri sehingga kerap kali kita menemukan penamaan beras siam unus yang didasarkan kepada nama petani yang memuliakan benih padi itu. Jadi, varian dari padi lokal sangat banyak, tak berbilang,” ujarnya.

Meski beras ini disuka oleh sebagian besar masyarakat Banjar, namun sejatinya produktivitas beras lokal masih kalah jika dibandingkan beras unggul. Menurut Faturrahman, jika dirata-rata, produktivitas tahunan untuk padi lokal sekitar 3,5 ton, sementara padi unggul 4,5 ton.

Izhar Khairullah, peneliti madya sekaligus Koordinator Program Balai Penelitian Lahan Rawa, Badan Litbang Pertanian, yang ada di Banjarbaru, mengatakan, kelebihan padi lokal antara lain soal rasa, fisik pera, tahan genangan, tahan keasaman tanah, dan mudah dalam hal perawatan.

Cita rasa khas masyarakat Banjar yang menyukai beras pera telah menyelamatkan keanekaragaman hayati padi di Kalimantan Selatan, yang ternyata juga menjadi sumber daya bagi pemuliaan benih padi di Indonesia. Siam unus mutiara dari Barito Kuala dan siam unus sabah dari Banjar adalah dua jenis padi lokal yang oleh Kementerian Pertanian ditetapkan sebagai salah satu benih unggulan.

Rasa pera bercampur kuah santan ketupat kandangan yang remuk, hmmmm... (Aryo Wisanggeni G/Defri Werdiono)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com