Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akhir Penghancuran atau Akhir Kelezatan

Kompas.com - 10/12/2013, 09:07 WIB
Kisah ikan menghilang punya latar panjang yang bertautan dengan menghilangnya kelezatan padi ladang. Padi jenis ini hanya bisa dihasilkan dari perladangan berpindah dengan cara membakar ladang. Cara ini semakin kerap dituding sebagai penyebab kebakaran hutan. Masyarakat adat Dayak, para peladang sumber kelezatan berpuluh padi lokal Kalimantan itu, kian jeri diancam bui.

Dengan raut wajah muram, Sariyan (41) datang ke rumah Ketua Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah Sabran Achmad, akhir Oktober lalu. Dia mengadukan nasibnya yang terancam dibui karena membantu sepupunya, Aslin, membakar hutan di Desa Rungau Raya, Kecamatan Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah.

”Pertengahan Oktober, saya dan 30 warga lainnya membakar lahan untuk ladang Aslin. Kami sudah membuat sekat api, merobohkan pohon di seluruh tepian calon ladang, untuk memastikan api tak membakar kebun sawit di sana. Namun, perusahaan kelapa sawit mengadu kepada polisi,” tuturnya.

Sabran tafakur mendengar aduan Sariyan. ”Ini tidak masuk akal. Beratus tahun kami menjadi peladang berpindah dengan membakar hutan. Kami tahu cara membakar lahan tanpa membakar bagian hutan lain. Kami peladang berpindah dan kamilah yang mewariskan hutan lebat Kalimantan,” kata Sabran.

Laporan Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch (FWI-GFW) tahun 2001, ”Keadaan Hutan Indonesia”, menggambarkan apa yang dituturkan Sabran. FWI-GFW menyebutkan luasan hutan Indonesia pada 1950 mencapai 162,3 juta hektar. Luasan Pulau Kalimantan yang menjadi bagian dari Indonesia mencapai 53,7 juta hektar, 51,4 juta hektar di antaranya adalah hutan yang diwariskan para peladang berpindah masyarakat adat Dayak.

Kebijakan penerbitan hak pengusahaan hutan (HPH) oleh rezim Orde Baru membuat luasan hutan susut hingga 31,5 juta hektar pada 1997. Kehilangan 20 juta hektar hutan itu juga hasil dari kebijakan rezim Soeharto menggelar Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah pada 1995.

Bagi Sabran, PLG yang gagal itu adalah bencana lingkungan yang paling menyengsarakan masyarakat adat Dayak di Sungai Sebangau, Kahayan, Kapuas, Kapuas Murung, dan Barito. ”Tanaman purun habis, rotan habis, galam abis, karet rakyat habis. Sungai kering, beje pun habis. Gambut yang kering tiap tahun terbakar dan kini para peladang dituding sebagai penyebab bencana kabut asap. Seperti tak berujung, sekarang kami harus melihat bagaimana perkebunan kelapa sawit menimbun sungai dan danau, ditumpuki kayu-kayu hutan yang dibuang begitu saja,” kata Sabran.

Kepala Pengampanye Hutan Indonesia untuk Greenpeace Internasional Bustar Maitar menyebutkan, kebijakan HPH, PLG, pertambangan rakyat, dan pertambangan batubara telah menghancurkan hutan dan sungai Kalimantan. Bustar menyatakan penghancuran itu dilanjutkan oleh industri kelapa sawit. Antara tahun 1991 dan 2006, di Indonesia saja telah dibuka hampir 5 juta hektar perkebunan kelapa sawit baru, dengan laju perluasan setara dengan 50 kali lapangan bola setiap jam.

”Separuh dari pembabatan hutan untuk kelapa sawit itu terjadi di Kalimantan, termasuk membuka lahan gambut yang sangat mudah terbakar. Selama beratus-ratus tahun peladang berpindah membakar hutan Kalimantan untuk menyiapkan lahan dan tidak pernah menimbulkan kebakaran besar. Kebakaran hutan Kalimantan kini menjadi masalah besar karena terlalu banyak lahan gambut yang dibuka. Industri kelapa sawit bertanggung jawab atas pembukaan lahan gambut yang mudah terbakar itu,” ujar Bustar.

Sungai dahulu merupakan sumber kemakmuran masyarakat adat Dayak, tetapi menjadi pintu masuk industri yang merusak hutan dan sungai di Kalimantan. ”Pertambangan rakyat mengotori sungai, perkebunan kelapa sawit mencemari sungai dengan pestisida dan limbah pabrik CPO (minyak kelapa sawit mentah), tambang batubara menghancurkan hutan Kalimantan dan menggunakan sungai untuk pengiriman hasil tambangnya,” lanjutnya.

Semangkuk besar sayur umbut rotan dengan kuah kekuningan beraroma menggiurkan dulu merupakan masakan sehari-hari di rumah Esmy Saptuyah Mistaruddin di Palangkaraya. Akhir Oktober lalu, sayur dengan rasa pahit menyegarkan itu tersaji seperti sebuah keberuntungan. ”Untung kita tak jadi memasak umbut kelapa sawit. Saya sudah berencana menghidangkan umbut kelapa sawit kalau gagal menemukan umbut rotan di pasar,” ujar Esmy.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Pulang menuju rumah betang di Tumbang Manggu, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah.
Antropolog Marko Mahin menuturkan, umbut kelapa sawit adalah varian baru yang muncul karena jumlahnya melimpah. Ia melanjutkan, banyak umbut yang dimakan warga Dayak, termasuk umbut nanas, umbut laos yang diambil tengahnya lalu disayur. Bagian batang pisang juga dapat disayur.

”Ketika kemudian hutan menghilang, beberapa makanan mereka juga hilang. Dalam beberapa tahun ini, misalnya, saya sudah jarang makan jamur-jamur hutan yang enak. Kami juga semakin sulit mencicipi kelezatan larva tawon yang dimasak dalam bambu. Ketika perkebunan kelapa sawit semakin menjadi di mana-mana, orang pun menyantap umbut kelapa sawit,” ujar Marko.

Masih sulit meraba akhir balada cita rasa dari rimba raya Kalimantan. Apakah kita akan melihat akhir penghancuran hutan dan sungai Kalimantan, atau justru melihat akhir kelezatan masakan tradisional masyarakat adat Dayak, itu semua ditentukan oleh tindakan dan keberpihakan kita hari ini. (Aryo Wisanggeni G/C Anto Saptowalyono/Putu Fajar Arcana)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com