Lampit atau tikar anyaman rotan yang membentang di dapur betang (rumah tradisional Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah) Bintang Patendu mengumbar aroma pedas dan asam dari dua cobek berisi sambal terung asam tanah dan sambal rimbang bulu. Juga rebung bambu berbumbu daun sangkai, tumbukan daun singkong yang juga berbumbu daun sungkai, ikan baung goreng, tempe, juga ayam goreng.
Si empunya betang budaya Bintang Patendu, Syaer Sua U Rangka, belum lega melihat banyaknya hidangan itu. ”Mana ikan saluangnya.” Ia bertanya ke arah pintu belakang dapur, selasar terbuka yang terhubung dengan sebuah bilik perapian yang baranya sedang memanggang beberapa batang bambu berisi ikan saluang (sejenis ikan teri tawar yang berasa gurih). Yulinda Syaer Sua, putrinya, bergegas membongkar salah satu batang bambu, menumpahkan isinya ke piring.
Sekejap, piring itu penuh ikan saluang yang kuyup berbalur bumbu yang kekuningan. Uap air yang terperas dari saluang dan aneka bumbu berkepulan, harum dan mengundang selera. ”Ini ikan saluangnya, jangan malu-malu bersantap, ya,” kata Yulinda, menyorongkan piring itu ke tengah lampit.
Di Palangkaraya, saluang lebih kerap disajikan dengan cara digoreng dan rasanya sungguh gurih. Ketika kami mencicipi saluang di betang Syaer, daging ikan teri sungai itu lembut dan basah, gurihnya pun tak kalah, ditimpali sambal rimbang bulu pedas dan segar, hmm...
”Kalau memakan ikan saluang basah, ada cara menyantapnya. Kepala saluang harus masuk dulu ke dalam mulut. Kalau terbalik, durinya akan terurai dan menyangkut di tenggorokan,” kata Syaer.
Sambil bersantap, Syaer bercerita tentang bagaimana ia membangun rumah betangnya, rumah panggung setinggi 6 meter yang dibangun pada 2005 hingga 2008. Puluhan kayu ulin berdiameter sekitar 1 meter menyangga panggung yang total luasnya mencapai 390 meter persegi, terbagi menjadi bangunan utama (171 meter persegi), karayan atau selayar (84 meter persegi), dan dapur (135 meter persegi). Sebuah betang lain, seluas 530 meter persegi, juga dibangun Syaer pada 2002-2003.
”Ada banyak rumah betang di Kalimantan Tengah, tetapi hanya dua betang inilah yang dibangun pasca-kemerdekaan Republik Indonesia. Orang lain tidak lagi mau membangun rumah betang, manusia Dayak semakin meninggalkan rumah betang, seperti mereka semakin meninggalkan jati dirinya sebagai orang sungai,” tutur seniman karungut (sastra lisan berupa pantun yang dilagukan) itu.
Syaer nyaris selalu gelisah tentang nasib tradisi sungai masyarakat adat Dayak. Ia bahkan menciptakan syair karungut tentang kehancuran alam Kalimantan yang membuat masyarakat adat Dayak semakin jauh dari sungainya. Syair karungutnya, ”Jadi Penonton”, berkisah tentang orang Dayak yang hanya jadi penonton berbagai eksploitasi hasil alamnya.
”Sepuluh tahun lalu, di Sungai Baraoi, Kabupaten Katingan, saya masih menangkap ikan sapaan sebesar betis. Ikan itu tak ada lagi gara-gara pendulangan emas di Kecamatan Petak Malai. Di Kecamatan Sanaman Mantikei, pendulangan emas membuat air sungai seperti kopi susu. Ikan juga semakin hilang gara-gara tukang setrum ikan. Kalau dahulu kami menangkapi ikan di sungai, sekarang kami membeli ikan sungai tangkapan para penyetrum atau membeli ikan budidaya di karamba,” ujar Syaer.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.