Di sejumlah persimpangan blok —biasanya dekat dengan lampu lalu lintas— akan dengan mudah didapati pintu-pintu masuk menuju terminal bawah tanah. Dari sana, penduduk setempat dapat melanjutkan perjalanan ke berbagai tujuan dengan menggunakan kereta. Jika ditotal, jarak mereka berjalan kaki bukan tak mungkin mencapai hitungan satu atau dua kilometer.
Mereka harus terus berjalan kaki, bukan hanya saat berada di jalur pedestrian, melainkan juga saat mencari kereta di terminal bawah tanah. Saya menduga, kebiasaan berjalan kaki —di samping pilihan makanan ala Jepang yang memang dikenal sehat— membuat mayoritas orang yang saya temui di jalan mempunyai bentuk badan yang ideal.
Sulit menemukan orang dengan kelebihan berat badan di sini. Setidaknya, kesan itu yang membekas di benak saya setelah beberapa jam berjalan kaki menikmati trotoar dan juga terminal subway di kota ini.
Sayangnya, sulit pula mencari warga yang bisa mengonfirmasi asumsi saya ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak penduduk di Jepang yang tidak mampu berbahasa Inggris, bahkan untuk percakapan tingkat dasar.
Bersih tanpa tempat sampah
Hal lain yang menjadi begitu berkesan dari Nagoya adalah kebersihannya. Di sepanjang trotoar hingga tangga-tangga menuju terminal bawah tanah sekalipun tak pernah dijumpai sampah yang tercecer.
"Kalau di Jakarta udah penuh puntung rokok nih," kata seorang rekan seperjalanan sambil menunjuk ke anak tangga di salah satu stasiun bawah tanah.
Anak tangga menuju terminal subway Sakae itu memang terlihat sudah tua. Warnanya hijau kehitaman, tetapi tidak kotor. Bahkan tak ada debu yang kasatmata terlihat di atasnya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.