Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kartini Kisam, Penjaga Tari Topeng Betawi

Kompas.com - 18/12/2013, 13:13 WIB
RESPON terhadap tari topeng betawi yang redup pada awal tahun 1990-an tak membuat Kartini Kisam patah arang. Para penonton yang bertepuk tangan sambil berdiri ketika ia mengakhiri tari saat tampil di Lagos, Nigeria, tahun 1997, memberikan suntikan semangat baru bagi Kartini untuk tetap setia melestarikannya. Bagaimanapun, tari topeng betawi sudah jadi bagian dari dirinya.

Gempuran budaya asing pada era serba digital, yang menyedot perhatian generasi muda dari budaya lokal, sempat dikhawatirkan Kartini. Tari topeng betawi yang berada pada episentrum perkembangan budaya di Tanah Air berhadapan langsung dengan perubahan zaman. Tantangan Kartini untuk memelihara dan melestarikan tari topeng betawi pun kian besar.

Ditemui di rumahnya di Cibubur, Jakarta Timur, akhir November 2013, ia tampak kelelahan. Saat itu, ia baru saja tiba dari Cirebon. ”Beginilah saya, tapi saya senang. Ini sudah bagian hidup saya,” ujarnya.

Berbagai cara harus dan terus ia lakukan agar bagian dari budaya asli Betawi, warisan neneknya, Mak Kinang, terus bertahan menghadapi gempuran zaman. Cita-citanya, tari kebanggaannya itu tak hanya dikenal di kalangan publik Jakarta dan sekitarnya. Dia juga menginginkan tari itu dikenal dan menyebar di seluruh Indonesia, bahkan dunia internasional. Untuk itulah, Kartini berusaha memopulerkannya dengan cara mengajar dan menari di berbagai acara.

Usianya 53 tahun, tetapi Kartini masih sanggup memperagakan tari topeng dengan baik. Tampil dalam acara Betawi Begaye yang digelar di Bentara Budaya Jakarta, pertengahan November lalu, gerakan kakinya lincah mengikuti irama musik. Tangannya mengayun ke kiri dan kanan. Sesekali ia melempar selendang yang dililitkan di pinggangnya. Ia tampil menari dengan sempurna.

Awal perkenalan

Kartini mengenal tari topeng betawi ketika berusia 10 tahun. Saat itu, ia kerap mengikuti kakek-neneknya, pasangan Jiun-Kinang, yang aktif mempertunjukkan tari tersebut di Jakarta dan Jawa Barat. Mak Kinang menjadi penari, sedangkan Jiun mengiringinya sebagai pemukul gendang. Mak Kinang dikenal sebagai maestro tari topeng betawi pada masa itu.

Lakon hidup yang sama dijalani ayah dan ibunya, Kisam dan Nasah, sebagai generasi kedua pegiat seni tradisional Betawi itu. Sang ibu menari, sedangkan ayahnya memukul gendang. Namun, ibunya tak lama memainkannya. ”Ibu sering sakit, hingga meninggal ketika saya masih berusia 7 tahun,” ujar Kartini.

Tidak memilih cara lain, Kartini kecil mulai melanjutkan warisan budaya itu. Pergelaran kesenian di Bandung, Jawa Barat, yang berlangsung tahun 1973, merupakan awal perjalanan panjang pilihan yang ia tekuni hingga kini. Saat itu, neneknyalah yang sedianya tampil menari. Namun, neneknya sakit sehingga batal hadir. Bermodal kepercayaan diri dan meyakini dirinya sebagai pewaris, Kartini tampil menggantikan Mak Kinang.

Itulah penampilan pertamanya dalam sebuah pergelaran. Jiwanya kian menyatu hingga menggeluti tari topeng dan terus menyebarluaskannya. Kesibukannya itu ia bayar: Kartini tak lagi mengikuti pendidikan di sekolah. Ia mengundurkan diri dan menekuni tarian topeng betawi, hingga akhirnya menjadi pengajar tari.

Dalam perjalanan hidupnya, Kartini tak hanya menghibur masyarakat di Jakarta dan Jawa Barat, tetapi juga di sejumlah wilayah lain di Indonesia dan dunia. Tahun 1981, ia pentas di Hongkong, kemudian Singapura (1985) serta Nigeria dan Mesir (1997).

Saat ini, Kartini aktif mengajar seni tari di sejumlah sekolah. Meskipun tak tamat SD, ia mengajar mulai dari jenjang SD hingga perguruan tinggi. Ia juga menjadi dosen tamu di Universitas Negeri Jakarta dan Institut Kesenian Jakarta. Selain itu, ia juga mengajar di sejumlah sanggar seni dan Balai Kesenian Jakarta. Dalam seminggu, 4-5 hari ia mengisi hari dengan mengajar.

Generasi penerus

Pada usianya kini, Kartini mulai menyiapkan generasi penerus. Ia tak menargetkan waktu kapan berhenti menari. Jika melihat pola pewarisan dua generasi sebelumnya, wajar apabila ada yang menebak anaknya yang akan menggantikan.

Namun, ternyata hal itu tidak terjadi. Kartini menikah dengan Rachmat Ructhiyat tahun 1977 dan dikaruniai seorang putra, Iim Muharam. Iim tak bisa mewarisi tradisi tari keluarga yang mulai dimainkan Mak Kinang tahun 1920-an itu.

Kartini pun fokus melatih di sanggar milik keluarga: Sanggar Seni Ratna Sari. Dia berharap, dari sanggar itu lahir generasi keempat. Dalam setahun, lebih dari seratus orang dilatihnya. Sanggar dikelola Sukirman, saudara kandungnya.

Kini, ia membidik tiga keponakannya. Sesuai pesan Mak Kinang, Kartini harus mempertahankan dan menyebarluaskan seni itu. ”Tari ini harus dipertahankan dan disebarluaskan. Jangan sampai hilang,” ujar Kartini, meniru pesan neneknya.

Memainkan tari topeng butuh penghayatan tinggi. Dan, itu ia tekankan kepada anak didiknya. Penjiwaan adalah kunci.

Tari topeng menggambarkan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari melalui tiga motif topeng. Pertama, topeng putih bernama panji. Panji adalah simbol kelembutan perempuan. Gerakan penarinya lemah lembut.

Kedua, topeng merah muda bernama sangga. Gerakan tangannya agak atraktif dan agresif dibandingkan panji. Gerakan itu melambangkan sikap wanita yang centil, genit, dan ingin selalu diperhatikan.

Motif topeng terakhir adalah raksasa merah tua bernama jingga. Beberapa gerakan pada jenis ketiga ini antara lain mengepalkan tangan dan membuka kaki memasang kuda-kuda, yang menjadi simbol orang kuat dan angkuh.

Tarian itu diiringi beberapa jenis alat musik, antara lain rebab, kenceng, kenong, kecrek, gong, dan gendang. Para pemainnya dinamakan panjak. Ritme musik sesuai motif topeng yang dipakai. Tari topeng biasa dimainkan pada beberapa acara orang Betawi, seperti khitanan, pernikahan, dan sedekah bumi.

Kartini berharap, pengetahuan tentang tari topeng dibukukan agar bisa dipelajari generasi mendatang. Selain itu, tari tersebut juga bisa masuk kurikulum SD di Jakarta. ”Saya ingin semuanya bisa ditulis, tetapi saya tidak bisa menulisnya,” katanya.

Kartini pun optimistis, warisan neneknya itu tidak akan hilang ditelan zaman. Meskipun untuk itu dia harus berjibaku menghadapi gempuran zaman yang serba digital dan modern. (Fransiskus Pati Herin)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com