Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cabai: Dari Spanyol Turun ke Minahasa

Kompas.com - 21/12/2013, 14:40 WIB
Oleh BE Julianery dan Budi Suwarna

BERKAT Christopher Columbus, cabai menyebar dari habitat aslinya di Benua Amerika ke seluruh dunia. Lewat petualang Eropa, cabai sampai juga ke Sulawesi Utara. Kini, sengatan pedas cabai mengunci lidah banyak orang Minahasa.

Siang yang basah di kaki Gunung Soputan, Minahasa, Sulawesi Utara, akhir November lalu. Fandy Pai (34) dan istrinya, Telma (32), memanen cabai rawit atau rica di ladangnya di Desa Touure, Kecamatan Tompaso. Itu adalah petikan ketiga di musim panen yang kedua. Cabai yang dipetik hari itu tinggal sisanya saja. Dia perlu menunggu dua bulan lagi untuk panen berikutnya. Setiap panen, Fandy mendapatkan hasil 35 kilogram cabai rawit merah dari 2.000 batang pohon.

Kebun cabai rawit milik petani di Touure memang tidak seberapa luas. Petani hanya menguasai kurang dari 1 hektar kebun cabai. ”Dulu, so banyak itu petani buka kobong rica (cabai rawit). Sekarang berkurang soalnya banyak yang so rugi,” kata Fandy. Ia dan beberapa petani mempertahankan ladang cabai meski serangan hama dan fluktuasi harga cabai sewaktu- waktu bisa merontokkan kerja Fandy. Ia bilang, luas kebun cabai yang ada saat ini di Touure mungkin tidak sampai setengahnya dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Kebun-kebun tersebut tampak seperti karpet hijau yang membentang di lembah-lembah subur di kaki Gunung Soputan. Inilah salah satu titik dari sekian banyak titik di Bumi yang menjadi habitat baru tanaman perdu yang menyebar dari Amerika ke seluruh dunia sejak 500-an tahun yang lalu.

Penyebaran cabai

Sejumlah literatur menyebutkan, cabai (Capsicum spp) digunakan sebagai bumbu masak sejak 6.000 tahun lalu. Perkiraan itu berdasarkan bukti arkeologis di Ekuador Barat Daya, dekat perbatasan Peru. Arkeolog melihat jejak butir cabai yang menempel pada peralatan masak penduduk Indian kuno.

Penemuan itu diklaim bisa membuktikan bahwa penduduk asli di Ekuador Barat Daya adalah komunitas pertama yang menggunakan cabai dalam masakannya, bukan masyarakat yang hidup di pegunungan Peru atau Meksiko sebagaimana selama ini diyakini. Kurang lebih 5.000-7.000 tahun lalu, orang Indian membudidayakan tanaman cabai dengan cara mencangkok atau menyetek. Dari budidaya ini, cabai menyebar ke Amerika. Sampai di sini, penyebaran cabai terkunci di Amerika hingga Columbus sampai ke Benua Amerika tahun 1490. Di Dunia Baru itu Columbus menemukan tanaman pedas. Ia menjulukinya paprika merah.

Sejak kedatangan orang-orang Eropa, tanaman itu makin menyebar ke Mesoamerica (Meksiko, Nikaragua, Guatemala, Honduras, Elsavador, dan Belize) serta Karibia. Cabai (Capsicum annuum) yang dibudidayakan di Mesoamerica diduga merupakan nenek moyang dari cabai yang umum kita konsumsi sekarang. Varietas keduanya adalah cabai rawit (Capsicum frutescens). Tanaman pedas itu kemudian dibawa dan diperkenalkan ke Spanyol pada tahun 1493 (Nathan Nunn, dan Nancy Qian, The Columbian Exchange: A History of Disease, Food, and Ideas).

Dari sinilah dunia cabai terkuak ke masyarakat luas. Dalam waktu singkat wilayah Eropa Tenggara yang membentang dari Spanyol sampai Portugis akrab dengan sengatan pedas cabai (Paul Bosland, History of Chile Pepper). Kedua negara itu lantas menyebarluaskan cabai ke sejumlah koloni dan daerah yang pernah disinggahinya ketika berdagang rempah, seperti India, China, Korea, Jepang, Filipina, Malaka, dan Nusantara.

Kapan cabai masuk ke Nusantara? Ada dugaan Nusantara mengenal cabai pada abad ke-16 seturut kedatangan Portugis ke Asia Tenggara ketika mencari sumber rempah terutama lada, pala, dan cengkeh. Tahun 1522, Portugis memperoleh akses perdagangan lada yang menguntungkan. Portugis membawa barang berharga untuk dipersembahkan kepada raja Sunda. Kemungkinan, di antara barang- barang itu ada bibit cabai. Dari situ, cabai meluas ke wilayah timur Nusantara.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN Pasar Tomohon.
Sejarawan Minahasa, Fendy E W Parengkuan, menuturkan, Portugis mulai masuk ke Minahasa yang dulu berada di bawah hegemoni Ternate-Tidore pada tahun 1563, diikuti Spanyol pada tahun 1580. Spanyol menjadikan Pulau Manado Tua sebagai tempat persinggahan untuk memperoleh air tawar. Dari pulau itu, Spanyol masuk lebih dalam ke wilayah Amurang, Manado, dan Kema. Untuk memberi makan para budak dan pelautnya, Spanyol menanam palawija di Minahasa, salah satunya tanaman cabai (Paul Bosland). Dari situlah, orang Minahasa mulai berkenalan dengan cabai.

Pertukaran ”columbian”

Periode itu oleh para sarjana Barat sering disebut sebagai masa Columbian Exchange (Pertukaran Columbia), yakni terjadi pertukaran bahan makanan antara Dunia Lama (Eropa, Asia, Afrika) dan Dunia Baru (Amerika). Dunia Lama mendapatkan aneka bahan makanan antara lain cabai, tomat, ubi, singkong, dan jagung. Sebaliknya, Dunia Lama ”menyumbang” kopi, jeruk, pisang, dan kedelai. Berkat pertukaran itu, aneka bahan makanan itu menyebar secara global dan menjadi jawaban pada persoalan dunia yang saat itu kekurangan makanan.

Pertukaran Columbia mendorong evolusi cita rasa masakan dunia. Cabai, misalnya, memberikan rasa pedas pada kari india, kimchi korea, dan masakan Indonesia. Tomat menjadi benang merah pada setiap masakan Italia. Lada, pala, kayu manis, dan cengkeh memberikan rasa dan aroma khas pada masakan Eropa yang hambar.

Fendy mengatakan, sebelum mengenal cabai, masakan minahasa menggunakan jahe sebagai sumber rasa pedas. Kini, sumber rasa pedas diambil alih cabai rawit atau rica. Sengatan rica pun membuat masakan minahasa so pedas! (Pingkan Elita Dundu/Sonya Hellen Sinombor)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

5 Tempat Wisata di Tangerang yang Bersejarah, Ada Pintu Air dan Makam

5 Tempat Wisata di Tangerang yang Bersejarah, Ada Pintu Air dan Makam

Jalan Jalan
Dampak Rupiah Melemah pada Pariwisata Indonesia, Tiket Pesawat Mahal

Dampak Rupiah Melemah pada Pariwisata Indonesia, Tiket Pesawat Mahal

Travel Update
4 Tempat Wisata di Rumpin Bogor Jawa Barat, Ada Curug dan Taman

4 Tempat Wisata di Rumpin Bogor Jawa Barat, Ada Curug dan Taman

Jalan Jalan
Rusa Jadi Ancaman di Beberapa Negara Bagian AS, Tewaskan Ratusan Orang

Rusa Jadi Ancaman di Beberapa Negara Bagian AS, Tewaskan Ratusan Orang

Travel Update
5 Rekomendasi Playground Indoor di Surabaya untuk Isi Liburan Anak

5 Rekomendasi Playground Indoor di Surabaya untuk Isi Liburan Anak

Jalan Jalan
Pilot dan Pramugari Ternyata Tidur pada Penerbangan Jarak Jauh

Pilot dan Pramugari Ternyata Tidur pada Penerbangan Jarak Jauh

Travel Update
Desa Wisata Tabek Patah: Sejarah dan Daya Tarik

Desa Wisata Tabek Patah: Sejarah dan Daya Tarik

Jalan Jalan
Komodo Travel Mart Digelar Juni 2024, Ajang Promosi NTT ke Kancah Dunia

Komodo Travel Mart Digelar Juni 2024, Ajang Promosi NTT ke Kancah Dunia

Travel Update
Tips Pilih Makanan yang Cocok untuk Penerbangan Panjang

Tips Pilih Makanan yang Cocok untuk Penerbangan Panjang

Travel Tips
Harapan Pariwisata Hijau Indonesia pada Hari Bumi 2024 dan Realisasinya

Harapan Pariwisata Hijau Indonesia pada Hari Bumi 2024 dan Realisasinya

Travel Update
5 Tips Menulis Tanda Pengenal Koper yang Aman dan Tepat

5 Tips Menulis Tanda Pengenal Koper yang Aman dan Tepat

Travel Tips
Turis China Jatuh ke Jurang Kawah Ijen, Sandiaga: Wisatawan agar Dipandu dan Mengikuti Peraturan

Turis China Jatuh ke Jurang Kawah Ijen, Sandiaga: Wisatawan agar Dipandu dan Mengikuti Peraturan

Travel Update
8 Kesalahan Saat Liburan Berkelompok, Awas Bisa Cekcok

8 Kesalahan Saat Liburan Berkelompok, Awas Bisa Cekcok

Travel Tips
Sandiaga Bantah Iuran Pariwisata Akan Dibebankan ke Tiket Pesawat

Sandiaga Bantah Iuran Pariwisata Akan Dibebankan ke Tiket Pesawat

Travel Update
Hari Kartini, 100 Perempuan Pakai Kebaya di Puncak Gunung Kembang Wonosobo

Hari Kartini, 100 Perempuan Pakai Kebaya di Puncak Gunung Kembang Wonosobo

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com