Bercy Kalengit menggelar daun pisang wanan lebar yang segar di atas meja dapur Yoel Sungi. Kedua tangannya terhunjam ke semangkok beras yang terendam air. Perlahan ia menaburkan beras basah itu di kiri-kanan tulangan daun pisang. Dua taburan beras memanjang lantas ia tutup dengan menggulung dua belahan daun pisang tersebut.
Tangannya lantas mengelus daun pisang itu, merapikan sepasang lontong ”kembar dempet” itu. ”Sekarang sudah tahu kan kenapa beras cala juga disebut nasi kembar,” kata Kalengit.
Hati-hati ia mengangkat calon nasi kembarnya dan memasukkannya ke dalam bambu hijau yang jarak antar-bukunya 1 meter lebih. ”Kita harus memakai bambu lou-lou yang jarak antarruas bambunya panjang agar bisa membuat nasi cala yang panjang. Daun pisang yang membuntal berasnya pun khusus, yaitu daun pisang wanan yang lebar dan liat. Beras terbaik untuk nasi cala adalah beras ladang yang secara turun-temurun kami tanam,” kata Kalengit.
Kalengit dan belasan perempuan Kampung Gamtala harus membuat sekitar 60 nasi cala ukuran besar untuk dihidangkan dalam pesta adat penggantian atap nipah sasado atau rumah adat tradisional suku Sahu di Kampung Gamtala, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara. Yoel Sungi menuturkan, nasi cala yang tak berbumbu itu adalah hidangan wajib dalam setiap pesta adat di Gamtala.
Jejak pertautan
Gamtala yang terletak di Pulau Halmahera pernah begitu dekat dengan pusat kekuasaan, ketika Kesultanan Jailolo di Halmahera berjaya menguasai Maluku Utara. Kesultanan Jailolo akhirnya ambruk dan dihancurkan Kesultanan Ternate pada 1551.
Penaklukan Jailolo oleh Ternate mengawali sejarah panjang persaingan Ternate dan Tidore yang menautkan sejarah sejumlah kawasan di Indonesia timur. Mulai dari Minahasa dan Manado; Ambon, Banda, dan Seram yang kaya cengkeh di Maluku, hingga kawasan Kepala Burung dan Teluk Cenderawasih di Papua Barat dan Papua. Nasi buluh bambu adalah jejak tautan masa lalu itu.
Meski memiliki cita rasa yang sama sekali berbeda, nasi cala dari Gamtala sungguh serupa dengan nasi jaha yang kerap dimasak dalam beragam pesta masyarakat Minahasa di Sulawesi Utara. Tradisi memasak beras dalam buluh bambu juga menapak di kawasan Teluk Cenderawasih dan Sorong di Papua dan Papua Barat.
”Tradisi memasak nasi dalam buluh bambu adalah tradisi baru yang dipengaruhi tradisi kuliner Maluku Utara atau Minahasa. Sulit memastikan asal-usul pengaruh itu karena interaksi orang Papua, Maluku, dan Minahasa sangat panjang dan intens,” kata antropolog dan Ketua Lembaga Riset Papua, Johszua Robert Mansoben.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.