Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Kehilangan Tas di Stasiun Nagoya...

Kompas.com - 23/12/2013, 13:28 WIB
Glori K. Wadrianto

Penulis

KOMPAS.com — Setelah menunggu lebih dari 30 menit, bus carteran yang akan membawa kami ke Stasiun Shiroko dari Hotel Suzuka Circuit akhirnya muncul. Siang itu, cuaca tak secerah saat kami tiba beberapa hari lalu. Mendung terus bergelayut di langit. Air sisa hujan yang mengguyur sejak pagi pun belum mengering.

Udara dingin semakin menyengat. Namun, rencana melanjutkan perjalanan ke ibu kota Jepang, Tokyo, membuat kami lebih bersemangat. Satu demi satu, tas dan koper kami tumpuk di bagian belakang bus.

Lima belas menit setelah bus melaju, kami pun tiba di stasiun yang menjadi pintu masuk pelancong ke sirkuit internasional yang pembangunannya dirintis sejak tahun 1962 silam.

Berbeda dengan saat tiba, kali ini kami memilih kereta Kintetsu kelas eksekutif menuju Nagoya. Ya, kami memang harus transit di Nagoya sebelum mencari kereta api cepat Tokaido Shinkansen menuju Tokyo.

Tarif KA Kintetsu eksekutif dibaderol 1.700 yen atau hampir Rp 200.000 per penumpang. Sementara itu, harga tiket kelas ekonomi cuma 800 yen atau sekira Rp 100.000.

Kedua kelas berbeda tersebut berjalan dalam satu rangkaian KA. Yang membedakannya cuma posisi duduk. Di kelas eksekutif, kami mendapatkan kursi dan nomor sesuai yang tercantum di tiket. Posisi duduk berjajar menghadap ke depan. Di tiap-tiap sisi ada dua tempat duduk, persis seperti kereta api jarak jauh lainnya.

Sementara itu, di kelas ekonomi, penumpang duduk berhadap-hadapan. Posisinya mirip dengan kereta commuter line di Jakarta. Tak ada nomor kursi di gerbong ini.

Kami masukkan semua koper dan tas yang kami bawa ke dalam kompartemen di atas kursi penumpang. Sejumlah koper berukuran besar ditempatkan di ujung gerbong, dekat dengan pintu keluar.

Dibutuhkan waktu kira-kira 50 menit untuk menuju Nagoya yang berjarak sekira 52 kilometer dari Shiroko. Ketika kereta tiba di Stasiun Nagoya, kami pun bergegas turun.

Lagi-lagi, kepadatan manusia di terminal bawah tanah Nagoya menyambut kedatangan kami yang bersamaan dengan jam pulang kerja. Kendati demikian, tak ada kebisingan berarti. Semua berjalan lancar. Antrean penumpang pun tertata tertib.

KOMPAS.COM/GLORI K WADRIANTO Stasiun Nagoya di Jepang.
Sejumlah calon penumpang, yang menunggu datangnya kereta, berjajar sesuai dengan marka di pinggir lintasan kereta. Posisi mereka menyerong sehingga membuat arus naik turun kereta berlangsung lancar dan cepat.

Ya, peradaban manusia di negara maju kembali terasa di tempat ini. Semuanya patuh dan menghormati hak orang lain. Kelancaran dan ketertiban pun menjadi ganjarannya.

Kehilangan tas

Seusai menguras perhatian saat mencari jalur menuju layanan kereta api Shinkansen ke Tokyo, akhirnya kami tiba di luar stasiun. Suasananya sudah gelap kala itu. Lampu-lampu sudah mulai dinyalakan. Lalu lalang manusia pun terus terlihat tak berhenti.

Entah mengapa, kami tidak bisa menemukan jalur penghubung dari Terminal Kintetsu menuju jalur Shinkansen. Akhirnya kami memilih keluar, dan masuk ke Stasiun Nagoya dari pintu yang berbeda agar loket Shinkansen lebih mudah ditemukan.

Namun, suasana tiba-tiba diliputi kepanikan, ketika Lucky, salah satu anggota rombongan berteriak, "Duh, tasku ketinggalan...."

"Ketinggalan di mana?" kata satu teman yang lain.

"Isinya apa? Paspor?" timpal teman satu lagi.

Lucky hanya menjawab pertanyaan itu dengan raut muka penuh kebingungan. Dia terlihat berusaha berpikir keras, di mana terakhir dia membawa tas itu.

Ternyata, tas milik pejabat di PT Astra Honda Motor itu tertinggal di dalam kereta Kintetsu yang membawa kami dari Stasiun Shiroko.

Tak berpikir lama, dengan setengah berlari, Lucky pun kembali ke dalam stasiun. Adalah loket informasi yang menjadi tujuannya. Beruntung, kepingan tiket yang biasanya dimasukkan ke dalam mesin inspeksi tak diserahkan saat keluar. Kami meminta cap manual atas tiket itu, untuk dokumen pertanggungjawaban biaya perjalanan.

Kendala bahasa

Seperti cerita yang sudah-sudah, bahasa Inggris memang selalu menjadi masalah di Jepang. Lucky pun terpaksa menggunakan bahasa "Tarzan" ketika berusaha memberi tahu petugas jaga bahwa tasnya tertinggal.

Kepingan tiket yang dipegangnya tadi sungguh mempermudah komunikasi. Sebab dengan potongan karcis secuil itu, si petugas langsung bisa mengidentifikasi kereta mana yang dimaksud.

Sesaat kemudian, kami kembali menyaksikan bagaimana beradabnya manusia di negeri ini. Meski tak bisa berkomunikasi langsung, semangatnya untuk membantu tak pupus. Lelaki yang mengenakan setelan jas hitam itu bergegas ke balik komputer.

KOMPAS.COM/GLORI K WADRIANTO Suasana di kelas bisnis KA Kintetsu Nagoya-Tokyo.
Diketiknya sejumlah kata dalam bahasa Jepang, dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan memakai jasa Google Translate. Setelah itu, hasil terjemahannya di-print dan diserahkan kepada Lucky.

Intinya, petugas itu mengatakan bahwa kereta sudah bergerak meninggalkan stasiun. Kabar baru akan didapat 30 menit ke depan. Setelah itu, petugas ini terlihat mencoba melakukan pembicaraan melalui sambungan telepon.

Setelah menunggu agak lama, lelaki itu kembali dengan secarik kertas. Di dalamnya disebut bahwa tas yang dicari ada di dalam gerbong, dan akan diantar kembali dalam tempo 30 menit.

Benar saja, 30 menit berselang, terlihat seorang lelaki lain yang membawa tas itu ke loket informasi. Penantian selama lebih dari satu jam pun membuahkan hasil. Tas ransel berserta seluruh isinya kembali ke tangan Lucky tanpa ada yang berkurang atau hilang.

Saya lalu membayangkan, apa yang akan terjadi jika tas itu tertinggal di Stasiun Manggarai, Jakarta, sementara rangkaian kereta sudah bergerak ke arah Bekasi misalnya. Apakah tas tersebut masih dapat ditemukan?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com