Daging amos berwarna krem hancur terserak di antara kedua kaki Agustina. Yang tersisa tinggal semeteran batang sagu sepelukan orang dewasa itu. Saat daging sagu menggunduk, Agustina memindahnya ke dalam sebuah tas berbahan karung beras ukuran 10 kilogram. Begitu tas itu penuh, Agustina menyungginya menuju pinggir Sungai Siratz di Distrik Kaibar, Asmat, Papua. Ketika Agustina datang, Ruben—suaminya—belum selesai menapis sari pati sagu yang dipangkur Agustina sebelumnya. Dalam sebuntalan kain yang ada di pangkal pelepah sagu, tangan Ruben meremas kuat-kuat sabut daging sagu. Perasan putih mengaliri pelepah sagu menuju pelepah lain yang menjadi ”kolam pengendapan” sagu.
Kegiatan menangkur sagu telah dilakukan suami istri itu selama dua hari terakhir. Keduanya pergi meninggalkan Kampung Pinerbis di Distrik Kaibar dengan membawa dua anak balitanya, Lokeba dan Yosekin (1). Setelah mendayung perahu berkilo-kilometer, mereka tiba di hutan sagu ulayat sukunya. ”Kami akan memangkur sagu hingga cukup persediaan selama dua bulan ke depan. Setelah itu barulah kami pulang ke Pinerbis,” kata Ruben.
Itu berarti dua-tiga pekan Ruben, Agustina, Lobeka, dan Yoseakin bakal tidur dalam bivak berdinding dan beratap daun sagu. Musim pangkur sagu juga diiringi perburuan singkat aneka satwa dan ikan di hutan dataran rendah yang lebat dan basah, tempat berbagai burung, reptil, dan mamalia, seperti tikus hutan, posum, kuskus, ataupun kelelawar, bisa ditemukan.
Dari sagu yang dipangkur dengan segenap keringat dan entakan napas itulah, lempeng-lempeng sagu bakar dihasilkan. Parutan endapan pati sagu yang menggumpal keras melumer perlahan, menebar bau terbakar yang khas. Aroma gosong itu mengimbuhi rasa tawar sagu bakar. Sagu bakar selalu menyodorkan sensasi rasa mengunyah karet kenyal yang hangat dan berbulir-bulir kasar. Setiap otot geraham serasa bekerja ekstra melumat bola dan lempeng sagu. Sensasi itu bisa ditemukan di hampir setiap tempat di Asmat dan pesisir selatan Papua lainnya.
Ratusan kilometer dari bivak Ruben, di dapur Martina Bateh yang ada di tepian dusun sagu, Kampung Workwana, Distrik Arso, Kabupaten Keerom, sagu yang tersuguhkan sama sekali berbeda. Tangan Bateh meremas kuat gumpalan pati sagu dalam baskom, lantas melarutkannya dengan air bercampur perasan jeruk nipis. Setelah ditapis, air seputih susu itu dituangi air mendidih. Dua tongkat seukuran sumpit di tangan Bateh berputar cepat mengaduk adonan pati sagu yang segera mengental menjadi jenang. ”Inilah papeda,” ujar Bateh sambil mengangkat baskom itu ke meja dapurnya.
Dari meja itu tercium aroma lezat sepanci sajian ikan kuah kuning yang menjadi teman menyantap papeda. Sup ikan berkuah kuning itu lebih dahulu dituangkan ke piring kosong, mengalasi papeda agar tak lengket di piring. Beramai-ramai kami menyantapnya di kebun di belakang dapur Bateh. Bateh dan para kerabatnya tertawa melihat kami kelabakan menggulung gumpalan sagu dan menumpahkannya ke atas piring. Segala kepanikan itu langsung terbayar ketika sesuap sagu yang basah kuyup oleh kuah kuning menggelontor ke tenggorokan sambil meninggalkan jejak pedas cabai dan harum serai.
Serupa dengan bakar batu, sagu bakar dan papeda juga terkait dengan kisah leluhur dan alam roh. Setiap manusia adat Papua pastilah menghormati sagu lebih daripada sekadar santapan. Banyak suku di Papua mengenal mitologi sagu yang dikisahkan sebagai penjelmaan manusia dengan beragam kisah dan nama. Manusia mengorbankan dirinya demi memberi makan anak-keturunannya. ”Sagu adalah inti dari berbagai ritual masyarakat adat di pesisir dan dataran rendah Papua,” kata Mansoben.
Dalam budaya patriarkat masyarakat adat Asmat, misalnya, setiap tahun digelar pesta ulat sagu. Pesta ulat sagu menjadi satu-satunya hari ketika perempuan Asmat boleh memasuki jew atau rumah komunal tempat setiap lelaki dewasa bertempat tinggal di kampung tradisional Asmat. Para perempuan berpesta dilayani para suami yang memasak untuk mereka. Di hadapan beratus orang di dalam jew, setiap istri berkesempatan mengutarakan segenap isi hati, kemarahan, kekecewaan, juga cercaan. Sebaliknya, setiap suami harus mendengar dan meminta maaf kepada istrinya. Pesta yang kerap diakhiri isak tangis haru.
”Ritual ulat sagu adalah ritus memuliakan perempuan Asmat, dan pesta ulat sagu selalu menebar energi baru bagi tiap kampung Asmat untuk melanjutkan kehidupan mereka sebagai manusia. Ada banyak ritus suku lain yang juga menjadikan sagu sebagai persembahan utama,” kata Mansoben.
Karena itulah, generasi tua mulai gusar melihat cucu-cucu mereka tak lagi mau menyantap sagu dan lebih memilih nasi. ”Anak-anak belasan tahun tidak mau lagi makan sagu. Mereka tidak tahu cara membuat sagu. Hanya orang berumurlah yang masih menokok sagu dan menyantapnya. Rasanya sagu bakal segera hilang dari sajian di meja makan kami,” tutur Bateh dengan nada sedih.
Di pegunungan tengah, nasi juga mulai menggeser ubi, keladi, dan jagung. Tengoklah suguhan pesta kecil menyambut Natal di hunila keluarga Wes Togotli di Bolakme, Jayawijaya. Menunya adalah seketel besar nasi, sewajan rica babi, sepanci besar mi instan dengan beberapa helai kubis, dan sepiring kecil ikan sarden. ”Silakan, mari kita bersantap,” ajak Togotli kepada para tamunya.
Kami pun segera menyerbu suguhan itu. Keriangan suasana santap siang di hunila Wes Togotli adalah keriangan yang sama seperti yang kami temukan di hunila Iriana di Hepuba, Distrik Asolokobal. Yang berbeda hanya pada masakannya. Di hunila Iriani, kami menemukan sajian otentik masyarakat pegunungan Papua, yakni ubi bakar batu. Sementara itu, di hunila Wes Tigotli kami menyantap masakan yang hampir semua bahannya didatangkan dari luar.
Ini keseharian santapan di honai, santapan yang semua bahannya pabrikan dari luar Wamena,” tutur Sekretaris Distrik Bolakme Cyrillus Willem seperti membaca pikiran kami.
Mau tahu berapa harga sebungkus mi instan di Pasar Bolakme yang berjarak 500 meter dari hunila Wes Togotli? Rp 10.000! Mau tahu harga segenggam beras yang hanya akan cukup untuk memasak sepiring nasi? Rp 10.000! Harga-harga ajaib itu muncul lantaran semua ”makanan asing” itu harus diangkut dari Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, dengan mobil bergandan ganda ke distrik-distrik nan jauh, termasuk Bolakme.
Udin punya penjelasan sederhana soal harga serba mahal itu. ”Semua barang memang mahal karena didatangkan dari Jayapura dengan pesawat. Harga satu kilogram garam di Jayapura Rp 3.500, diangkut dengan biaya Rp 8.000 per kilogram. Silakan dijumlah sendiri harga jualnya, lebih mahal ongkos angkut ketimbang nilai barangnya. Itu belum menghitung kelangkaan yang kerap terjadi karena kami gagal mengangkut barang jualan dari Jayapura ke Wamena. Sudah dua pekan ini, stok mi instan kami kosong,” keluh Udin, awal Desember lalu. (Sonya Hellen Sinombor/Pingkan Elita Dundu/Budi Suwarna)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.