Mobil kabin ganda yang kami tumpangi menyusuri jalan membelah lembah di antara perbukitan dan pegunungan di Wamena, November lalu. Kabut baru saja sirna, jalanan masih licin, tetapi Cyrillus WR Luntungan (40) tetap memacu mobil kami.
Sinar mentari datang dan pergi berganti dengan rinai gerimis. Hal itu membuat kami yang duduk berjejalan di bak belakang mobil setiap saat harus siaga menarik terpal plastik untuk menutupi barang-barang dan tubuh kami. Meski begitu, perjalanan menuju Distrik (Kecamatan) Bolakme dari Wamena ini amat menyenangkan dan penuh sukacita.
Mobil kami kian jauh meninggalkan Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya. Semakin mendekati Bolakme, permukiman kian jarang. Dalam beberapa kilometer hanya ada satu-dua silimo (kompleks rumah tradisional Papua yang terdiri dari honai, hunila, kandang babi, dan kebun). Selebihnya adalah tanah-tanah kosong penuh semak atau bukit-bukit yang rendah, tetapi miring. Lerengnya dimanfaatkan sebagai kebun ubi.
Bukit-bukit yang dari Wamena tampak seperti gundukan tanah menghijau kini menampakkan wajah sangarnya. Tebing-tebingnya curam dan tinggi seolah mencuat begitu saja dari perut Bumi. Ini seperti dunia yang asing.
Banyak misteri yang tersisa di kawasan Lembah Baliem ini. Dari catatan gereja Katolik, kami mengetahui bahwa Lembah Baliem belum genap 100 tahun bersentuhan dengan dunia luar. Hingga tahun 1938, keberadaan lembah terbesar di kawasan pegunungan tengah Papua itu bahkan belum diketahui dunia. Peneliti Richard Archbold menemukan lembah hijau subur dan Sungai Baliem saat tak sengaja melongok dari jendela pesawat amfibi bernama Guba.
Pesawat Guba mendarat di Danau Habbema pada 15 Juli 1938. Rombongan beserta perlengkapannya selesai diangkut ke danau tersebut pada 31 Juli 1938. Pada hari itu juga mereka bertemu dengan dua orang Dani, saling membagikan rokok dalam suasana persahabatan (Sejarah Gereja Katolik di Lembah Baliem Papua, Pastor Frans Lieshout OFM, Jayapura, 2009).
Gula-gula
Jalan menuju Bolakme semakin menanjak, sempit, dan berliku. Mesin mobil yang kami tumpangi meraung kelelahan. Setelah melewati jalan yang lebih datar di sisi Sungai Baliem, kami tiba di Bolakme menjelang tengah hari. Beberapa bocah Papua mengejar mendekati mobil sambil berteriak, ”Gula-gula... gula-gula.”
Reriuhan di Pasar Bolakme memikat kami. Pasar itu ramai oleh para mama berjualan setumpuk ubi, beberapa ikat wortel dan bayam, satu-dua sisir pisang, dan beberapa raup tomat. Terkejutlah kami mendengar cerita para mama yang memanen sendiri setiap dagangannya. Setiap hari mereka ke ladang, berjalan kaki berkilo-kilometer membawa noken berat, mendaki dan menuruni lereng terjal pegunungan tengah Papua.
Seorang remaja yang menyertai para mama Papua menegur kami yang berjalan kaki bersama rombongannya. ”Mengapa Bapak tidak pakai mobil saja?”
Kami menjawab ingin berjalan kaki agar sehat. Kepalanya menggeleng heran. ”Ah... lebih enak naik mobil, kami sudah bosan jalan kaki,” katanya serius.
Di Bolakme, waktu seakan melambat justru ketika orang di seluruh dunia sibuk bicara soal kecepatan dan percepatan. Pater John Djonga yang ikut dalam perjalanan kami mengatakan, wajah Bolakme dan banyak distrik lain di Papua tidak banyak berkembang setelah beberapa dekade terakhir. Yang terus berkembang setiap saat cuma jumlah kabupaten dan distriknya.
Kabupaten Jayawijaya mungkin merupakan kabupaten yang paling ”mekar” di seluruh Indonesia. Pada 2002, kabupaten itu dipecah menjadi empat kabupaten, yaitu Jayawijaya, Tolikara, Pegunungan Bintang, dan Yahukimo. Pada 2008, sisa wilayah Kabupaten Jayawijaya kembali dipecah menjadi lima kabupaten, yaitu Jayawijaya, Mamberamo Tengah, Lanny Jaya, Nduga, dan Yalimo. Tampaknya pemekaran wilayah ini tidak segera berhenti. Kami menemukan sebuah posko pemekaran kabupaten baru bernama Baliem Center.
Di level distrik, kata Luntungan, Jayawijaya yang pada 2009 terdiri atas 11 distrik kini jadi 40 distrik. Ia menunjuk beberapa distrik yang saling berdekatan di sekitar Bolakme. ”Distrik-distrik itu penduduknya sedikit, seperti kampung kecil saja. Paling penduduknya cuma 100 keluarga,” kata Luntungan.
Yang mengherankan, tambah Sisca Aso, warga Wamena, setiap pemilu tiba, jumlah pemilih di kampung atau distrik sepi tiba-tiba melonjak berkali lipat. Ia menyebut sebuah desa yang penduduknya hanya 39 orang saat pemilu jadi ribuan orang. ”Di Papua, orang yang sudah mati, pohon, dan batu dihitung sebagai pemilih. Itu sudah!” ujar Aso berseloroh.
Jalan di tempat
Dengan seluruh pemekaran distrik dan kabupaten itu, layanan publik di Jayawijaya tak juga membaik. Pelayanan di Kantor Distrik Bolakme adalah potret kecil buruknya pelayanan publik di Jayawijaya, bahkan Papua. Sejak Agustus lalu Kepala Distrik tidak pernah berkantor.
”Saya bertugas setiap Senin dan Kamis. Kalau setiap hari tidak sanggup. Ongkosnya mahal. Pulang pergi naik angkutan umum dari Wamena harus keluar Rp 60.000. Kalau pakai sepeda motor, biaya bensinnya Rp 100.000. Kalau setiap hari masuk, gaji saya habis semua,” ujar Luntungan. Di hari Selasa, Rabu, dan Jumat ia memilih bekerja dari Wamena.
Kebijakan pemekaran dan kebijakan lain seperti bagi-bagi raskin dan aneka bantuan keuangan tampaknya seperti gula-gula. Ya, gula-gula yang cuma manis didengar di telinga. Itu sudah! (Budi Suwarna dan Aryo Wisanggeni Genthong)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.