Tidak ada pesta tanpa kue-kue beraroma Belanda di Minahasa. Di Desa Kayu Uwi, Kawangkoan Barat, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, yang sejuk, seorang ibu menyodorkan satu loyang kue brudel dan satu ceret kopi hangat. Kami pun menyantap kue bertekstur padat itu, yang mudah hancur ketika disantap. Rasa manisnya samar, sesamar rasa gurih mentega dan telur yang menjadi bahan pentingnya.
”Celup dulu brudelnya ke dalam kopi, baru ngana (Anda) santap. Rasanya pasti lebih nikmat,” ujar seorang teman dari Minahasa sambil memeragakan cara mencelup brudel yang mengingatkan kita pada iklan biskuit: diputar, dijilat, dicelup. Setelah dicelup kopi, rasa brudel itu memang jadi lebih nikmat.
Begitulah, ada banyak kue bercorak Belanda hadir di pesta-pesta orang Minahasa yang tinggal di kota hingga pelosok desa. Selain brudel dan kacang koek, ada sederet kue belanda lain yang biasa disajikan saat pesta perkawinan, seperti napolitein (semacam lapis legit), ontbijtkoek, dan klappertaart atau tar degan. Di pesta Natal dan Tahun Baru, kue Belanda yang disajikan adalah speculaas, nastar, kaastengels, dan seabrek kue kering lainnya. Menjelang momen Natal itulah, para produsen kue kering belanda kewalahan melayani pesanan.
Tengoklah dapur UD Eveline MK di Pineleng, Manado. Eveline, sang pemilik usaha, ditemani 10 karyawannya sibuk mengejar target 130 stoples kue kering pesanan salah seorang pejabat Kota Manado. Dalam waktu bersamaan, mereka harus memenuhi pesanan yang datang dari toko-toko kue di Kota Manado. Kami sempat mencicipi beberapa potong speculaas buatan Eveline yang renyah. Rasa kayu manis, gula aren, dan kenari berpadu sempurna.
Sesekali ia menengok oven yang membakar adonan. Harum butter dan gula melayang ke udara. Ketika sedang mengolah berloyang-loyang klappertaart, telepon beberapa kali berdering. Stella mengangkatnya dan orang di seberang telepon bertanya apakah kue pesanannya sudah matang.
”Menjelang Natal, pesanan tambah banyak. Sehari bisa dapat pesanan 80 klappertaart ukuran besar dan puluhan yang kecil-kecil, padahal biasanya cuma 30 saja. Saya sampai tidak tidur dan tidak bisa menyiapkan Natal,” ujar Itje sambil mengoles foam putih telur bercampur gula pasir, membubuhi kayu manis, kismis, dan kenari di atas klappertaart yang baru setengah jadi.
Kami mencicipi sepotong klappertaart buatan Itje. Adonan kue dan degan yang lembut terasa meleleh di lidah. Sesekali gigi menyentuh legitnya kismis dan renyah kenari. Rasa manis tar degan yang tersamar berpadu dengan cita rasa kayu manis dan rum yang hangat.
”Menjelang Natal seperti ini pesanan klappertaart ukuran besar bisa ratusan sehari. Belum lagi pesanan snack yang bisa mencapai ribuan stoples,” tutur Sofi yang membuka toko Sella Tempo Dulu sejak tahun 1988. Sofi kini melebarkan usahanya ke Cibubur lewat toko bernama Sofi Bakery.
Nyonya Belanda
Bagaimana kue-kue Eropa itu menjadi milik masyarakat Minahasa? Pendeta N Graafland yang berkeliling Minahasa pada 1850-an dengan sudut pandang yang beraroma orientalis dan etnosentris mencatat, orang Eropa telah mengenalkan peradaban Barat kepada masyarakat Minahasa hingga ke pelosok desa.
Para pendeta dan penginjil mengajarkan bagaimana cara membuat rumah yang baik, membuat jalan, dan melatih perempuan Minahasa cara berpakaian, memasak, dan menata rumah tangga. Setelah dilatih, mereka menjadi perempuan yang beretika layaknya perempuan Eropa (Minahasa: Negeri, Rakyat, dan Budayanya, 1991).