Seluruh kekacauan itu digenapi oleh alih fungsi hutan besar-besaran, hasil utak-atik dan corat-coret di peta yang nyatanya juga menguapkan kemandirian pangan orang asli Papua. Perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Keerom adalah satu contoh alih konversi hutan yang menghilangkan dusun sagu dan hutan perburuan masyarakat adat.
Pada tahun 2007, di Arso telah terdapat sekitar 1.500 hektar kebun sawit PT Perkebunan Negara (PTPN) II yang terbengkalai karena telah melewati masa produktif. Tanpa pernah mencari solusi atas lahan sawit mangkrak itu, pada 2008 pemerintah justru menerbitkan izin pembukaan 26.300 hektar hutan di Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom untuk dijadikan kebun sawit.
Dari 26.300 hektar hutan yang dijatahkan pemerintah, 18.338 hektar di antaranya telah dikuasai Rajawali Group melalui anak perusahaannya, PT Tandan Sawita Papua. Awal Desember lalu, Yuliana Langwuyo mengajak kami mengunjungi bekas hutan yang telah bersalin wajah menjadi kebun sawit muda itu.
”Perkebunan kelapa sawit PTPN II dibuka pada 1983. Orang Arso adalah masyarakat adat berburu dan meramu, yang selama 30 tahun gagal beralih menjadi pekerja kebun sawit. Masyarakat adat di Arso Timur juga pemburu dan peramu, persis orang Arso. Ketika hutan lumbung pangannya hilang, orang Arso Timur pun mengandalkan beras untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Dulu orang Arso Timur pemilik hutan yang kaya pangan itu. Sekarang mereka hanya menjadi buruh kebun sawit,” kata Langwuyo yang juga staf Sekretariat Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua itu.
Kondisi itu serupa dengan situasi masyarakat adat Malind-Anim di Merauke, yang hutannya sedang disulap menjadi kawasan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Lewat MIFEE, lagi-lagi hutan Papua bakal disulap menjadi lahan penanaman padi, tebu, dan kelapa sawit. Hanya di beberapa kampung kecil, seperti di Wendu, kurang lebih satu jam perjalanan dari Merauke, dusun sagu masih bertahan.
Di Distrik Okaba yang termasuk cetak biru MIFEE, warga mencoba menahan laju MIFEE dengan menggelar pesta dan lomba membakar sagu. Berbagai sep sagu muncul dengan aneka cita rasa sagu bakar. Mulai dari wanggilamo, berupa sagu bakar berisi daging bercampur parutan kelapa, sampai dengan kumabo yang berupa sagu bakar dari adonan parutan kelapa muda serta pisang.
Sekretaris Dewan Adat Wilayah V Ha Anim John Wob mengatakan, percampuran sagu, kelapa, dan daging melambangkan relasi dan persatuan integral antarmarga. Sagu atau Mahuze, kelapa atau Gebze, dan daging babi atau Basik-Basik yang merupakan bagian dari totem marga komunitas Malind Anim menjadi satu keutuhan yang menjadi jaminan bagi kelestarian kehidupan.
”Ketika seorang Malind makan sagu bakar atau sep sagu, sebenarnya ia tidak hanya sedang memenuhi kebutuhan fisik semata, tetapi sekaligus menyatukan diri dengan totemnya. Saat menyantapnya, ia merayakan Mahuze, Gebze, dan Basik-Basik. Yang jasmani dan rohani dipenuhi sekaligus,” kata John Wob. Tak ada yang tahu, sampai kapan Wob dan manusia Malind Anim lainnya bisa merayakan totem-totem mereka…. (Aryo Wisanggeni, Budi Suwarna, Wisnu Widiantoro)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.