Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/12/2013, 08:08 WIB
DENGAN seluruh kemahalan distribusi barang di Papua, nyatanya orang Papua semakin tergantung kepada beras untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Berbagai program bantuan uang jadi pemicunya karena memupus etos kerja orang Papua untuk bertani dan beternak. Alih fungsi hutan menjadi perkebunan tanaman industri, seperti sawit, juga membabat gudang pangan masyarakat adat Papua sehingga lagi-lagi membuat ketergantungan orang Papua akan beras semakin tinggi.

Senin (9/12/2013) siang itu, halaman Kantor Pos Wamena di ibu kota Kabupaten Jayawijaya penuh sesak oleh ratusan warga yang mengantre pencairan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM). Para warga antre untuk mengambil bantuan uang cair tahap 1 dan 2 periode 2013 senilai Rp 600.000 per keluarga sasaran.

Awalnya, Pieter Gaspersz yang juga Sekretaris II Satgas BLSM Kantor Area XI Papua Maluku cukup duduk manis di mejanya, mengawasi pencairan uang bantuan dari pemerintah pusat itu. Sepertinya urusan pembagian dana Rp 8 miliar untuk penerima BLSM di Distrik Wamena Kota dan Distrik Asologaima bakal mulus. Namun, tiba-tiba terdengar protes dari kerumunan warga yang mengantre.

”Bantuan itu tidak betul. Kenapa ada warga yang dulu menerima dan sekarang tidak menerima?” seru salah satu kepala desa yang berdiri di hadapan meja Gaspersz. Di belakang si kepala desa itu, beberapa warga turut meneriaki Gaspersz, sementara puluhan orang lainnya sibuk berdebat soal siapa saja penerima bantuan langsung tunai (BLT) yang kini tak kebagian jatah BLSM.

Suasana makin gaduh karena setiap orang meneriakkan pendapatnya, saling berebut bicara. Gaspersz memotong perdebatan itu sebelum situasi semakin gaduh dan kacau. ”Ini bukan pencairan BLT. Bapak harus ingat, dulu saat pencairan BLT, semua penerimanya memegang kartu bukti penerima BLT. Sekarang ini tidak ada kartu karena ini memang bukan BLT. Ini program BLSM, kartu BLSM semua ada di kami. Kalau ada penerima BLT yang tidak menerima dana BLSM itu karena sasaran BLSM memang berbeda dengan sasaran BLT,” ujar Gaspersz, juga dengan setengah berteriak.

Gaspersz menghela napas seperti lemas. ”Menjelaskan beda BLT dan BLSM di kota saja sudah susah seperti ini. Padahal, BLSM juga harus dibagikan di puluhan distrik lainnya. Di Jayawijaya, ada 35.330 rumah tangga sasaran BLSM, yang secara total akan menerima dana Rp 21 miliar. Anda bisa bayangkan protes yang akan kami hadapi di titik pencairan lainnya?” Gaspersz bertanya.

BLSM hanya satu dari sekian banyak program ”bagi-bagi uang” pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Pemerintah Provinsi Papua, misalnya, sejak tahun 2007 menggelontorkan dana Rencana Strategis Pembangunan Kampung atau Respek berupa uang cair Rp 100 juta per kampung. Tiap tahun, anggaran Pemerintah Provinsi Papua untuk program itu tak kurang dari Rp 470 miliar.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Warga menyeberangi jembatan gantung di Distrik Bolakme, Jayawijaya, Papua, Jumat (6/12/2013).
Pemerintah pusat dan daerah juga bersama-sama menggelontorkan bantuan langsung masyarakat (BLM). Beginilah kerumitan rumus ”bagi-bagi uang” BLM, terinci menjadi program PNPM Pedesaan, PNPM Perkotaan, PNPM Infrastruktur Pedesaan, dan PNPM Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah. Nilai BLM Papua pada 2013 mencapai Rp 742,7 miliar. Di Papua Barat, program yang sama menggelontorkan dana Rp 255 miliar.

Bermanfaat bagi masyarakat? ”Sama sekali tidak,” kata pegiat hak asasi manusia, Pater John Djonga Pr. ”Bantuan uang tunai dan beras miskin menghancurkan etos kerja. Sekitar tahun 1995, Jayawijaya adalah daerah pertanian produktif, yang bahkan mengirimkan banyak hasil bumi ke Jayapura dan Mimika. Semua itu sekarang tinggal cerita,” kata Pater John Djonga.

Ada begitu banyak bantuan uang dan beras miskin diberikan sehingga waktu orang habis untuk mengantre bantuan. Orang semakin malas berkebun, apalagi beternak. Semua berpikir pintas. Toh, ada beras bantuan dari pemerintah. ”Kalaupun tak ada beras miskin, orang di Wamena akan memakai uang bantuan untuk membeli beras yang harganya Rp 19.000 per kilogram itu. Itu tak memberdayakan orang Jayawijaya, yang pada dasarnya adalah petani dan peternak hebat,” ujar Pater John Djonga.

Seluruh kekacauan itu digenapi oleh alih fungsi hutan besar-besaran, hasil utak-atik dan corat-coret di peta yang nyatanya juga menguapkan kemandirian pangan orang asli Papua. Perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Keerom adalah satu contoh alih konversi hutan yang menghilangkan dusun sagu dan hutan perburuan masyarakat adat.

Pada tahun 2007, di Arso telah terdapat sekitar 1.500 hektar kebun sawit PT Perkebunan Negara (PTPN) II yang terbengkalai karena telah melewati masa produktif. Tanpa pernah mencari solusi atas lahan sawit mangkrak itu, pada 2008 pemerintah justru menerbitkan izin pembukaan 26.300 hektar hutan di Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom untuk dijadikan kebun sawit.

Dari 26.300 hektar hutan yang dijatahkan pemerintah, 18.338 hektar di antaranya telah dikuasai Rajawali Group melalui anak perusahaannya, PT Tandan Sawita Papua. Awal Desember lalu, Yuliana Langwuyo mengajak kami mengunjungi bekas hutan yang telah bersalin wajah menjadi kebun sawit muda itu.

”Perkebunan kelapa sawit PTPN II dibuka pada 1983. Orang Arso adalah masyarakat adat berburu dan meramu, yang selama 30 tahun gagal beralih menjadi pekerja kebun sawit. Masyarakat adat di Arso Timur juga pemburu dan peramu, persis orang Arso. Ketika hutan lumbung pangannya hilang, orang Arso Timur pun mengandalkan beras untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Dulu orang Arso Timur pemilik hutan yang kaya pangan itu. Sekarang mereka hanya menjadi buruh kebun sawit,” kata Langwuyo yang juga staf Sekretariat Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua itu.

Kondisi itu serupa dengan situasi masyarakat adat Malind-Anim di Merauke, yang hutannya sedang disulap menjadi kawasan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Lewat MIFEE, lagi-lagi hutan Papua bakal disulap menjadi lahan penanaman padi, tebu, dan kelapa sawit. Hanya di beberapa kampung kecil, seperti di Wendu, kurang lebih satu jam perjalanan dari Merauke, dusun sagu masih bertahan.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Sambil menggendong Lobeka, anaknya, Agustina mengumpulkan sagu yang telah dipangkurnya di hutan di pinggir Sungai Welderman, Distrik Kaibar, Kabupaten Mappi, Papua.
Di Distrik Okaba yang termasuk cetak biru MIFEE, warga mencoba menahan laju MIFEE dengan menggelar pesta dan lomba membakar sagu. Berbagai sep sagu muncul dengan aneka cita rasa sagu bakar. Mulai dari wanggilamo, berupa sagu bakar berisi daging bercampur parutan kelapa, sampai dengan kumabo yang berupa sagu bakar dari adonan parutan kelapa muda serta pisang.

Sekretaris Dewan Adat Wilayah V Ha Anim John Wob mengatakan, percampuran sagu, kelapa, dan daging melambangkan relasi dan persatuan integral antarmarga. Sagu atau Mahuze, kelapa atau Gebze, dan daging babi atau Basik-Basik yang merupakan bagian dari totem marga komunitas Malind Anim menjadi satu keutuhan yang menjadi jaminan bagi kelestarian kehidupan.

”Ketika seorang Malind makan sagu bakar atau sep sagu, sebenarnya ia tidak hanya sedang memenuhi kebutuhan fisik semata, tetapi sekaligus menyatukan diri dengan totemnya. Saat menyantapnya, ia merayakan Mahuze, Gebze, dan Basik-Basik. Yang jasmani dan rohani dipenuhi sekaligus,” kata John Wob. Tak ada yang tahu, sampai kapan Wob dan manusia Malind Anim lainnya bisa merayakan totem-totem mereka…. (Aryo Wisanggeni, Budi Suwarna, Wisnu Widiantoro)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com