Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Rantai" Itu Masih Membelenggu Keturunan Mereka

Kompas.com - 29/12/2013, 17:08 WIB

Kondisi Jawa masa itu yang masih berupa hutan ditambah masyarakatnya yang bodoh membuat mereka begitu mudah percaya dengan rumor itu. ”Dulu banyak anak di sini yang tidak mengetahui siapa orangtuanya,” kata Kadul.

Goedang Ransoem, bangunan yang dijadikan dapur untuk memberi makan buruh tambang, menjadi saksi keberadaan anak- anak buangan di Sawahlunto ini. Di salah satu foto di Goedang Ransoem yang kini sudah menjadi museum, terpampang foto anak-anak yang berebut makan di satu piring. Anak-anak itu ikut bekerja untuk bisa mendapatkan makan di dapur itu.

Goedang Ransoem melayani makan sekitar 7.000 buruh tambang di Sawahlunto. Namun, mereka yang mendapat jatah makan di situ hanyalah para pekerja paksa dan buruh kontrak saja. Hingga sekarang, museum itu masih menyimpan perangkat memasak berupa kuali-kuali besar yang terbuat dari baja.

Rantai kemiskinan

Keturunan orang rantai kini tinggal di Tangsi Baru, Kelurahan Tanah Lapang, dan juga di Air Dingin yang menjadi lokasi makam orang rantai. Di sana, nasib Kadul dan Saridan tidak jauh berbeda dengan nenek moyangnya dulu. Meski kini tidak terbelenggu rantai besi, hidup mereka masih terbelenggu rantai kemiskinan.

Sepanjang hidupnya, Saridan tidak mampu mengenyam pendidikan tinggi. Ia hanya berpendidikan sekolah dasar dan bekerja serabutan di Sawahlunto. Rantai kemiskinan membuat ia tidak mampu menyekolahkan anak keturunannya dengan baik.

Ketika tambang Sawahlunto yang dikelola PT Bukit Asam sudah tidak beroperasi lagi, mereka yang pernah bekerja di pertambangan menjadi kehilangan pekerjaan. Tanah-tanah adat yang dulu dikuasai Belanda, lalu dimiliki PT Bukit Asam, sudah dikembalikan sebagai hak ulayat adat yang kemudian dikelola secara adat.

Kadul mengatakan, ia yang dianggap sebagai pendatang tidak mendapatkan hak untuk ikut mengelola tanah-tanah di Sawahlunto. Ia tidak bisa ikut menambang di pertambangan rakyat dan ikut menanam karet ataupun coklat di lahan adat. ”Sejarah keluarga kami dijual untuk keperluan pariwisata, tetapi hidup kami tidak juga mengalami perubahan,” keluhnya. (Lusiana Indriasari)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com