Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 30/12/2013, 11:04 WIB
"To be away from Bali for more than a month is more than I can stand. I am so terribly homesick, I can hardly wait." (Berada jauh dari Bali lebih dari sebulan itu lebih dari yang bisa saya tahan. Saya sangat rindu pulang, dan tak sabar untuk menunggu pulang).

KALIMAT ini ditulis Walter Spies, pelukis asal Jerman, mengutip buku John Stowell berjudul Walter Spies, a Life in Art (Edisi Pertama, Afterhours Book, 2011). Dia merindukan Bali dan selalu ingin pulang ke Bali sejak dikenalnya tahun 1927. Dan di Ubud, Spies pun jatuh cinta.

Di Ubud pula, dia menemukan cinta dan tinggal bersama cintanya. Begitu pula yang dialami sejumlah wisatawan asing yang berdatangan. Mereka ingin kembali, khususnya ke Ubud. Cinta Ubud pun mendunia hingga saat ini.

Lalu, mengapa harus ke Ubud? Di kampung kecil ini mereka menemukan inspirasi, ketenangan, kenyamanan, keramahan, dan seni. Itulah alasan para wisatawan asing ke Ubud. Di sana, mereka tak hanya tinggal sehari atau dua hari, tetapi berhari-hari, bahkan berbulan-bulan hingga memilih menetap di sana. Bahkan, mereka membangun keluarga bersama pemuda atau perempuan Ubud.

Patricia Forichon, wisatawan asal Perancis, mengaku penasaran dengan Ubud karena teman-temannya dan referensi yang diunduhnya dari sejumlah sumber menyatakan kenyamanannya tiada duanya. Ia pun datang, dan membuktikannya. Bahkan, Patricia merasa tak perlu segera mengakhiri liburannya dan ingin tinggal lebih lama dari rencananya sepekan di Ubud.

Begitu pula dengan Emma. Wisatawan asal Afrika yang tinggal di Malaysia itu juga langsung menuju Ubud. Ini bukan yang pertama, dan Ubud telah membuatnya kembali dan ingin belajar melukis dengan cara seperti membatik.

Keduanya pun memilih tinggal di homestay sekitar Padangtegal. Sebagian besar wisatawan memilih tinggal di rumah-rumah penduduk. Keramahan masyarakatnya menjadikan mereka betah tinggal lama, baik bersama pasangan, keluarga, teman, atau hanya sendirian.

Ubud, yang banyak dikenal luas hingga penjuru bumi itu, konon berawal dari pertemuan Tjokorda Gde Raka Soekawati, dari Puri Agung Ubud dengan Spies. Keduanya menemukan perpaduan karya seni lukis yang akhirnya memotivasi gaya lukis seniman Ubud. Kala itu pelukis Ubud masih dikenal sebagai undagi.

Tonggak

Berdirinya Pita Maha (1936), yayasan khusus seniman lukis, telah membawa eksistensi para pelukis Ubud semakin dikenal. Karya-karya mereka pun mulai ikut pameran di sejumlah negara. Spies serasa menjadi peruntungan bagi Ubud.

KOMPAS/AYU SULISTYOWATI I Nyoman Jendra (49), pelukis asal Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, tengah sibuk menyelesaikan lukisannya di ruang pamernya, Rabu (11/12/2013). Ia salah satu pelukis yang setia mengembangkan seni lukis di Ubud yang dipengaruhi pelukis besar Walter Spies, Rudolf Bonnet, dan I Gusti Nyoman Lempad di era tahun 1930-an.
”Spies mungkin di era modern bisa disebut pemasar yang baik bagi Ubud,” kata Tjokorda Gde Putra Sukawati, putra Gde Raka Soekawati dari Puri Agung Ubud.

Nama-nama besar pelukis Ubud pun lahir, seperti I Gusti Nyoman Lampad, Anak Agung Gde Sobrat, I Gusti Made Deblog, Ida Bagus Gelgel, Ida Bagus Nyana, I Cokot, serta Ida Bagus Poleng. Pelukis asing pun berdatangan dan menjadi besar di Ubud, seperti Rudolf Bonnet dan Antonio Blanco.

Lagi-lagi persoalan suasana pedesaan yang nyaman dan tenteram menjadi alasan para pelukis dari luar Bali atau asing berdatangan. Mereka menilai inspirasi bisa datang dari ketenangan lingkungan seperti Ubud.

Lukisan wayang dengan gradasi hitam putih hingga lukisan warna berlatar pedesaan Ubud menjadi ciri khas. Justru pemandangan alamnya, yang oleh warga dinilai biasa, menjadi tujuan utama wisatawan berdatangan karena Bali memiliki keindahan lain, selain Sanur (Denpasar) dan Kuta (Badung).

Menurut Cok Putra, ia menduga Ubud sudah lebih dulu dikenal dunia sebelum Spies datang. Dari data yang dikumpulkan, bangunan khas Bali dari Ubud sudah berpameran di Perancis tahun 1931. Artinya, lanjut Cok Putra, Ubud sudah mendunia sejak sebelum itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com