Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 30/12/2013, 14:09 WIB
NI Gusti Putu Roni (80) berkeliling menjajakan air mineral dan minuman bersoda kepada sejumlah wisatawan asing yang tengah menanti acara pementasan tari dari Sanggar Bina Remaja, di halaman Puri Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, Selasa (10/12/2013) malam. ”Minuman sir... ma’am... minuman dingin...,” kata Nini (nenek) Roni berkeliling sambil kedua tangannya membawa beberapa minuman.

Setiap malam, perempuan ini datang menjajakan minuman. Itu dilakoni sejak usia 20-an tahun untuk menghidupi keluarga. Ia bercerita, turis asing banyak berdatangan dari sejumlah negara.

Tiyang senang banyak turis datang. Ubud jadi ramai. Tapi keramaiannya tidak sebanyak dulu, 30 tahun lalu. Sekarang, turis yang datang untuk melihat pementasan sedikit. Tiyang bersyukur meski hanya mendapat Rp 50.000 atau Rp 100.000 setiap malam berdagang di sini,” ujar Nini Roni ramah.

Sementara Wayan Roja (57), warga setempat, mengaku bangga dengan Sanggar Bina Remaja yang dibina bersama teman- temannya sejak 1979. Kala itu, tamu-tamu asing berdatangan begitu deras. Seni menjadi salah satu daya tarik yang selalu penuh penonton setiap kali ada pementasan. Anggotanya 60 remaja yang terdiri dari penari, penabuh, dan pelatih sampai beberapa orang yang membantu mempersiapkan peralatan pementasan.

Saat ini anak sulungnya, Anipriliani (31), adalah salah satu dari dua penari Legong. ”Sekarang anggota sanggar ini 80 orang. Tetapi, sanggar tak lagi menjadi pilihan remaja untuk bergabung. Dulu menjadi kebanggaan, kami bisa mementaskan tari-tari kolosal di halaman Puri Ubud dan ditonton oleh puluhan turis. Sekarang, kami harus bersabar karena penari dan penabuh tergiur menjadi karyawan di sejumlah vila di sini,” kata Roja.

Penghasilannya setiap malam pementasan bisa mencapai lebih dari Rp 1,5 juta pada penjualan tiket. Jika ramai seperti pada Agustus, wisatawan yang datang bisa lebih dari 200 orang. Sanggarnya mampu meraup sekitar Rp 8 juta sekali pentas. Namun, karena kesetiaannya pada budaya, dia tetap membagi keuntungan berapa pun itu Rp 50.000 per orang semua anggota meski sepi penonton.

Rasa setia juga dimiliki I Nyoman Jendra (49), pelukis di Pengosekan, Ubud. Ia mensyukuri tanah kelahirannya begitu terkenal. Ia pun tak menyangka talentanya melukis begitu dihargai, terutama oleh wisatawan yang ingin mendalami teknik melukis atau hanya sekadar ingin bisa melukis. Namun, apa pun itu, ia berterima kasih kepada Sang Hyang Widi karena dari melukis ia mampu menghidupi dan menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi.

Pada 1990-an, Jendra bisa meraup untung dari menjual karyanya yang mengikuti gaya Walter Spies, Rudolf Bonnet, dan I Gusti Nyoman Lempad itu. Banyak turis datang ke ruang pamernya dan belajar. Pendapatannya selama satu jam Rp 100.000 per orang.

Kerisauan

I Nyoman Suradnya, salah seorang pendiri Yayasan Bina Wisata tahun 1983, mengatakan, sebagai wisata ciri khusus, Ubud selalu menyedot wisatawan. Mereka tak hanya berwisata, tetapi sebagian tinggal, menikah, bekerja, dan berinvestasi.

”Ubud bagaikan milik dunia internasional. Karena itu, kami berupaya terus-menerus menjaga jangan sampai budaya dan adatnya serta fisik Ubud tergerus,” ujarnya serius.

Namun, dia mengingatkan semua warga setempat menjaga Ubud, termasuk budaya dan lingkungan. Ancaman dari investor di depan mata. Mereka mengincar tanah-tanah dengan imbalan ratusan juta rupiah. Tebing-tebing pun ingin disulap jadi vila. Ada juga yang begitu bebas keluar masuk pura dan tempat suci lainnya tanpa sopan santun.

Untuk itu, seniman lukis asli Ubud ini melakukan kampanye dengan menyebarkan brosur bagaimana wisatawan, khususnya mancanegara, tetap menghormati budaya dan adat Ubud. Ia terus menyebarkan informasi aturan dan tata cara berpakaian turis saat memasuki pura atau tempat suci di Ubud. ”Kami tidak mau mereka menganggap seperti rumah dan kemudian sembarangan mengenakan baju. Mungkin, itu yang membedakan Ubud dengan lainnya,” tuturnya.

Hal senada diungkapkan Tjokorda Raka Kerthyasa, Bendesa Adat Desa Pakraman Ubud serta Penglingsir Puri Agung Ubud. Ia mengapresiasi warga seperti Suradnya membantu mengajak masyarakat menjaga bumi Ubud. Budaya dan adat tetap menjadi roh bertahannya Ubud dari serangan segala modernisasi. ”Ancaman pasti ada dan itu konsekuensi perkembangan penduduk. Hanya saja, kami mengakui berkat menjaga budaya dan adat ini menjadikan Ubud tetap bertahan hidup,” ucapnya.

Kini, seni lukis Ubud jadi magnet bagi dunia. Apa pun kegiatan yang dianggap berkualitas menjadi penting jika berlabel Ubud. Sebut saja Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) setiap tahun yang sudah berjalan selama 10 tahun. Festival Musik Ubud pun mencoba peruntungan seperti UWRF.

Gampang jual

Janet de Neefe, penggagas UWRF, mengatakan, Ubud memiliki nilai lebih karena sudah mendunia sehingga memudahkan dirinya memperkenalkan kegiatannya. ”Ubud merupakan tempat yang tepat untuk mendapatkan kualitas terbaik yang bertaraf internasional,” ujarnya.

KOMPAS/AYU SULISTYOWATI I Nyoman Jendra (49), pelukis asal Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, tengah sibuk menyelesaikan lukisannya di ruang pamernya, Rabu (11/12/2013). Ia salah satu pelukis yang setia mengembangkan seni lukis di Ubud yang dipengaruhi pelukis besar Walter Spies, Rudolf Bonnet, dan I Gusti Nyoman Lempad di era tahun 1930-an.
Ia tidak ragu memilih Ubud karena tak hanya soal pariwisata, tapi juga bisa menjadi pertemuan seniman dan penulis dunia untuk saling bertukar pengalaman. Sesampainya di Pulau Bali, menurut dia, jarang orang tak mengenal Ubud sehingga memudahkan siapa pun yang datang dari belahan dunia mana pun menemukan lokasi Ubud.

Meski berbeda dari masa ke masa, perkembangan Ubud begitu hampir merata. Jika pada 1990-an, masyarakat begitu antusias menerima wisatawan dengan berkembangnya seni lukis hingga menjual produk lukisan massal di pasar tradisional Ubud. Para penari dan penabuh laris manis pentas di beberapa lokasi. Saat ini, sebagian warga dan yang dulunya pelukis pun tergiur untuk bekerja di vila dan restoran. Maklum, lima tahun terakhir vila dan aneka kuliner terus memasuki Ubud.

Suasana tenang tanpa ingar-bingar lagu keras dan disko menjadikan Ubud tetap bersahaja. Hanya saja, para penglingsir dan tokoh mengkhawatirkan sesaknya jalan-jalan di Ubud yang mulai macet di sana-sini.

Tepuk tangan meriah dan jepretan kamera dari sekitar 100 wisatawan asing yang menonton pementasan pun menyambut puas penampilan tangan-tangan gemulai penari legong dan penabuh malam itu. Langit malam yang cerah menaungi panggung pentas yang tak beratap dan berlatar pintu masuk Puri Agung Ubud. ”Kami percaya, Ubud bisa terjaga. Kami pun setia untuk tetap menjaga budaya karena kami hidup dari budaya,” kata Roja sambil menutup buku penjualan tiket malam itu. (Ayu Sulistyowati)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com