Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menengok Kembali Potensi Sungai Musi

Kompas.com - 04/01/2014, 16:07 WIB
MUSI Triboatton 2013 membawa satu pesan, Sungai Musi yang pernah menjadi nadi peradaban Sumatera Selatan itu kian tercabik oleh kerusakan lingkungan. Dari hulu ke hilir, pembukaan lahan, sampah, dan orang-orang melupakannya. Ini terjadi ketika begitu banyak orang bergantung dan berharap padanya.

Musi Triboatton 2013 yang diselenggarakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada 16-22 November membawa sekitar 150 peserta dalam dan luar negeri serta serombongan wartawan menyusuri sungai bersejarah itu dari hulu ke hilir. Sekitar 500 kilometer ditempuh melintasi lima kabupaten dan kota di Sumatera Selatan (Sumsel), Empat Lawang, Musi Rawas, Musi Banyuasin, Banyuasin, dan berakhir di Kota Palembang.

Di tengah eksotika kehidupan dan kemeriahan pesta-pesta rakyat yang digelar untuk menyambut Musi Triboatton, kerusakan lingkungan sungai terpanjang di Sumatera itu terlihat di sana-sini.

Perjalanan dimulai dari hulu Musi di Desa Tanjung Raya, Kabupaten Empat Lawang, yang terletak di lembah Bukit Barisan. Dari sana, kerusakan lingkungan sudah mulai tampak. Lereng-lereng bukit telah banyak beralih fungsi menjadi hamparan perkebunan kelapa sawit.

Warga Tanjung Raya, Hasan Basri (57), menuturkan, pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit marak di kawasan itu selama dua tahun terakhir. Sebagian besar perkebunan milik perusahaan asal Malaysia.

Warga menjual lahan dengan murah. Hasan, misalnya, baru saja menjual 1 hektar lahannya seharga Rp 14 juta saja. Dulunya lahan yang ia warisi turun-temurun tak jauh dari tepian Musi itu ia biarkan liar serupa hutan. Di sana, ia hanya menanam lada yang dirambatkan pada pepohonan yang tumbuh liar. Sesekali ia juga mengambil madu hutan dari sana.

Hasan mengaku terpaksa menjual lahan karena terdesak biaya sekolah anak. Penjualan lahan ini juga banyak dilakukan warga desa sekitar lainnya dengan alasan sama.

”Ada juga warga yang sebenarnya tak mau jual. Namun, perusahaan menggunakan warga sini, tetangga, bahkan anaknya sendiri untuk membujuk sehingga akhirnya lahan terjual juga,” ujar bapak dua anak yang kini hanya menggantungkan nafkah pada warung kopinya itu.

KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM Etape II Musi Triboatton 2013 dimulai dari Jembatan Kuning di Tebing Tinggi, Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan, Selasa (19/11/2013). Etape II ini diawali dengan menyusuri Musi dengan perahu cepat. Ajang ini jadi promosi wisata petualangan dan budaya sungai.
Kisah Hasan dan lahan di Tanjung Raya hanya satu kisah dari banyaknya pembukaan lahan di daerah aliran sungai (DAS) Musi. Berdasarkan data Balai Pengelolaan DAS Sumsel, sekitar 1,1 juta hektar kawasan DAS di Sumsel rusak. Penyebabnya adalah masifnya alih fungsi lahan dari tutupan hutan menjadi perumahan atau perkebunan. Pembukaan lahan di DAS menyebabkan erosi yang berakibat pada pendangkalan.

Kepala Divisi Pengorganisasian dan Pendidikan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Hadi Jatmiko mengatakan, selain meningkatkan laju erosi, perkebunan sawit di sekitar sungai juga rentan mencemari. Pupuk dan pembasmi hama di perkebunan sawit mudah mengalir ke sungai.

Di Kabupaten Musi Banyuasin, sejumlah industri pengolahan kelapa sawit juga dibangun di tepi sungai. Bupati Musi Banyuasin Pahri Azhari mengatakan, ancaman terhadap Musi di daerahnya terutama adalah limbah pengolahan pabrik-pabrik itu. ”Kami tegaskan ada sanksi keras jika ditemukan industri buang limbah langsung ke Musi,” ucapnya.

Menyangga kehidupan

Semakin ke hilir, semakin banyak sampah ditemui. Sampah plastik dan limbah rumah tangga bercampur dengan bangkai anjing dan tikus. Sungguh tak sedap dipandang. Banyaknya sampah menunjukkan bagaimana Musi dimanfaatkan sebagai tempat sampah raksasa.

Padahal, Musi masih menyangga kehidupan ribuan orang yang tinggal di pesisirnya. Sepanjang perjalanan, terlihat ibu-ibu berkain yang mandi dan mencuci, para nelayan menebar jala mencari ikan dengan ketek (sampan kayu), serta perahu-perahu tradisional hilir mudik mengangkut penumpang dan beragam hasil bumi. Musi juga masih menjadi sumber air utama sejumlah kota dan kabupaten di Sumsel.

Seiring pembangunan jalan darat di Sumsel, Sungai Musi kian ditinggalkan. Kehidupan kian berorientasi ke darat. Rumah-rumah yang dulu dibangun menghadap Musi kini semakin banyak yang membelakanginya. Berada di belakang rumah berarti menjadi tempat sampah. Rumah dan bangunan juga terlihat banyak dibangun tepat di bibir Musi. Padahal, guna menjaga kelestarian sungai, bangunan harus berjarak 50-100 meter dari bibir sungai.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com