Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kelezatan di Balik Tulang

Kompas.com - 08/01/2014, 08:58 WIB
SEKALI sedot, setumpuk kelezatan. Itulah sensasi yang muncul ketika menikmati sepiring sop tulang di Pa’doangdoangan, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Sluuuurrrp.

Hanya ada satu menu di Rumah Makan Sop Kikil Andi Makmur, yakni sop kikil. Namun, jangan membayangkan sop kikil yang disajikan adalah sop kulit kaki sapi seperti lazim dikenal di Jawa. Di Pangkep, yang disebut kikil adalah sumsum sapi.

Menu itu dihidangkan di piring ceper dengan 3-4 tulang ukuran besar dan kuah sop yang meluber hingga ke tepi piring. Pelayan memberi kami sedotan plastik untuk menyedot tumpukan sumsum di dalam tulang.

Sluuurrp... dengan sekali sedot, sumsum yang kental itu menggoreskan kenikmatan. Rasa gurih sumsum dan aneka rempah kuah sop yang hangat terjebak di lidah.

Kami pun berpindah ke tulang berikutnya dan menyedot setiap tumpukan sumsum yang tersisa hingga tandas. Tidak terasa, sumsum dari empat tulang ukuran besar dalam hitungan menit telah terkuras. Kami menutup acara makan siang dengan segelas air jeruk hangat.

Haji Andi Rahim, pengelola RM Sop Kikil Andi Makmur, menjelaskan, sop kikil yang disajikan kepada pelanggan merupakan hasil kreasi ibunya, Nuripah. Bumbu yang digunakan sederhana saja, yakni bawang putih, jintan, lada, dan ketumbar. Sop lantas dihidangkan dengan taburan seledri dan bawang goreng.

”Bumbunya memang sederhana, api proses masaknya yang sulit dan perlu kesabaran. Kami harus jeli memilih kaki sapi yang bagus untuk dibuat sop,” ujar Andi Rahim yang memiliki pemasok tetap kaki sapi.

Tulang kaki sapi, lanjut Andi Rahim, mesti dibersihkan terlebih dahulu lalu dipotong-potong dan direbus. Kemudian, kikil sapi dibuang hingga bersih. Proses memasaknya bisa berlangsung enam jam bergantung kaki sapi yang digunakan.

Setiap hari, Nuripah memasak sekitar 60 kaki sapi. Sepotong kaki sapi bisa diolah menjadi 3-4 porsi sop kikil yang dijual seharga Rp 30.000 per porsi. Sop sebanyak itu biasanya tandas diborong pembeli sebelum pukul 13.00.
Pesan dulu

Ketika kami berkunjung ke RM Andi Makmur suatu siang, di muka warung, Andi Rahim menyambut kami sambil berkata singkat, ”Maaf Pak, sopnya sudah habis diborong orang. Bapak seharusnya pesan dulu biar kami sisakan.”

Esok harinya kami datang lagi pukul 11.00. Andi Makmur menyambut kami dengan wajah berseri-seri. ”Saya sudah siapkan delapan porsi pesanan Bapak, tapi tidak bisa tambah karena sop yang tersisa sudah dipesan orang,” katanya.

Tidak lama kemudian datang seorang perempuan yang ingin membeli sop kikil. Andi dengan sopan mengatakan, ”Maaf Ibu, sopnya sudah habis dipesan rombongan gubernur. Lain kali Ibu pesan saja dulu.”

Begitulah, kelezatan sop kikil RM Andi Makmur telah tersebar ke seantero Pangkep bahkan hingga ke kota-kota lain seperti Makassar yang berjarak 60-an kilometer dari Pangkep. ”Banyak pelanggan kami dari Kota Makassar. Setiap kali mereka melintas ke Pangkep, mereka mampir ke sini. Mereka memesan terlebih dahulu lewat telepon,” ujar Andi Rahim.

Pelanggan sop kikil Andi Makmur beragam, mulai pedagang, petani, PNS, pejabat di lingkungan Kabupaten Pangkep, hingga pejabat di Provinsi Sulsel. ”Gubernur dan Kapolda sering makan di sini. Kadang mereka pesan ratusan porsi untuk acara kantor. Saya pun harus angkut alat masak dan panci kantor mereka dan meracik sop di sana,” ujar Andi Rahim yang bertugas meracik sop.

Bermula di gubuk

Kisah tentang RM Sop Kikil Andi Makmur bermula di sebuah gubuk. Andi Rahim menceritakan, ayahnya, Andi Makmur, sering ke Jakarta dan Surabaya. Di dua kota besar itu, Andi Makmur sering makan sop kikil. ”Dari situ bapak punya ide jualan sop kikil untuk menambah keuangan keluarga. Maklum, waktu itu bapak hanya seorang PNS. Gaji sebagai PNS tidak cukup untuk membiayai 10 anaknya,” tutur Andi Rahim.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Haji Andi Rahim menyiapkan sop kikil untuk pelanggan Rumah Makan Sop Kikil Andi Makmur.
Ide itu ditangkap istri Andi Makmur, Nuripah. Ia pun meracik sop kikil dan menjajakannya di sebuah gubuk di tepi jalan sekitar 20 meter dari rumah. Ternyata sop kikil racikan Nuripah disukai banyak orang. Hanya dalam waktu tiga tahun, usaha itu berkembang. Sejak saat itu, Andi Makmur menanggalkan statusnya sebagai PNS dan fokus berbisnis sop kikil.

”Warung pun kami pindah ke dalam rumah agar bisa menampung lebih banyak pelanggan,” kata Andi Rahim. Warung tersebut berada di paviliun rumah Andi Makmur yang cukup luas. Dalam satu waktu, ruang makan warung tersebut bisa menampung sekitar 30 orang.

Tahun 2005, Andi Makmur meninggal. Usaha sop kikil selanjutnya dipegang Andi Rahim. ”Yang memasak tetap ibu saya meski saya juga sudah bisa memasak sop. Makanya rasanya tidak berubah sampai sekarang,” ujar Andi Rahim yang mengubur dalam-dalam cita-citanya menjadi PNS demi menjalankan bisnis keluarga itu.

Meski permintaan dari pelanggan terus melonjak, Andi Rahim tidak berniat membuka cabang RM Sop Kikil Andi Makmur. ”Satu warung saja kami sudah kerepotan. Persoalannya, pasokan kaki sapi tidak selalu lancar,” kata Andi Rahim.

Ia mengaku memerlukan 70-an kaki sapi sehari. Nyatanya, pasokan kaki sapi dari beberapa pedagang hanya 20-an buah. ”Kalau mau asal ambil kaki bisa saja, tapi bagaimana kalau yang disetor kaki kuda?” kata Andi Rahim, tertawa. (Budi Suwarna)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com