Hendar masih jengkel jika ingat kejadian setahun lalu. Saat itu, bersama petenun lainnya, ia terpaksa menolak permintaan 1.500 meter kain tenun garut per bulan dari calon pembelinya di Inggris dan Vietnam. Jumlah tersebut tiga kali lipat lebih besar ketimbang kemampuan semua perajin tenun ikat garut selama sebulan. Keterbatasan bahan baku sutra karena harus didatangkan dari China menjadi kendala untuk memenuhi permintaan kain tenun garut dari mancanegara tersebut.
”Alasan pedagang dari China beragam, mulai dari kenaikan ongkos kirim, berbagi bahan dengan petenun dari daerah lain, hingga lesunya produksi benang di China. Ini risikonya jika kita masih bergantung pada negara lain,” kata Hendar yang dipercaya menjadi Ketua Paguyuban Kampung Tenun Panawuan Garut.
Bahkan, kenaikan harga benang sutra tahun ini dirasakan para perajin kain tenun garut sebagai kejadian paling menyesakkan. Apabila tahun lalu benang sutra bisa diperoleh dengan harga Rp 575.000 per kilogram, kini harga tersebut naik menjadi Rp 840.000 per kilogram. Perajin tenun ikat garut saat ini menerima kuota 5-6 kuintal bahan baku benang sutra per bulan.
Akibat kendala seperti itu, produksi tenun ikat yang dikerjakan sebanyak 96 orang ini pun terbilang minimal, hanya 500 meter per bulan. Biasanya sebanyak tujuh pekerja selama 1 bulan 2 minggu akan menghasilkan 10 meter kain tenun yang dijual Rp 40.000 per meter. Harga itu mungkin jauh lebih mahal ketimbang harga kain sutra biasa. Namun, di tengah kenaikan harga tak wajar, keuntungan petenun jelas berkurang.
”Dengan omzet sekitar Rp 200 juta per bulan, sebelum kenaikan harga para perajin masih bisa mendapat keuntungan sekitar 20 persen. Namun, setelah kenaikan harga mereka hanya bisa mendapatkan 15 persen,” kata Hendar.
Meski dililit beragam kendala, ketekunan petenun menjadi bahan bakar ampuh untuk menjalankan tenun ikat yang sempat mati suri ini. Dari hanya lima-enam perajin pada awal 2009, kini tercatat 96 orang bergantung hidup pada tenun garut. Ibu rumah tangga dan pemuda putus sekolah yang dulu tak berpenghasilan kini melanjutkan hidup dengan senyuman. Apalagi jika dibandingkan upah minimum regional Kabupaten Garut 2013, rata-rata pendapatan petenun dua kali lipat lebih besar. Petenun bisa mengantongi Rp 1,6 juta-Rp 1,8 juta per bulan.
”Pendapatan layak jelas kami syukuri. Namun, sangat membanggakan saat bisa menghidupkan tenun ikat garut,” kata Hendar.
Belajar dari dangdut
Sukses Hendar sebagai penggerak usaha tenun garut memang tidak mudah. Dia harus melintasi perjalanan panjang. Sama seperti rekan sebayanya, ia putus sekolah selepas lulus sekolah dasar. Tidak mau memberatkan kedua orangtuanya, ia merantau ke Jakarta dan Bandung. Ia mencoba beragam pekerjaan sebelum akhirnya menemukan dunia musik. Perlahan ia menjadi pemain keyboard andal. Kemampuannya memainkan keyboard bahkan mengantarkannya menjadi pemusik yang dirindukan penggemar musik dangdut di Bandung dan Jakarta. Nama julukan ”Rogesta” yang kini lekat di belakang namanya menjadi salah satu bentuk penghormatan bagi Hendar.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.