Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hendar Suhendar, dari Dangdut hingga Tenun Ikat Garut

Kompas.com - 09/01/2014, 16:43 WIB
RAMAI lantunan irama orkes dangdut Ibu Kota ternyata tidak selamanya membuat Hendar Suhendar (34), perajin tenun ikat garut asal Kampung Panawuan, Desa Sukajaya, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat, riang. Dia justru menemukan kebahagiaan saat telinganya mendengar ketukan monoton dari mesin-mesin tenun ikat tradisional.

Hendar masih jengkel jika ingat kejadian setahun lalu. Saat itu, bersama petenun lainnya, ia terpaksa menolak permintaan 1.500 meter kain tenun garut per bulan dari calon pembelinya di Inggris dan Vietnam. Jumlah tersebut tiga kali lipat lebih besar ketimbang kemampuan semua perajin tenun ikat garut selama sebulan. Keterbatasan bahan baku sutra karena harus didatangkan dari China menjadi kendala untuk memenuhi permintaan kain tenun garut dari mancanegara tersebut.

”Alasan pedagang dari China beragam, mulai dari kenaikan ongkos kirim, berbagi bahan dengan petenun dari daerah lain, hingga lesunya produksi benang di China. Ini risikonya jika kita masih bergantung pada negara lain,” kata Hendar yang dipercaya menjadi Ketua Paguyuban Kampung Tenun Panawuan Garut.

Bahkan, kenaikan harga benang sutra tahun ini dirasakan para perajin kain tenun garut sebagai kejadian paling menyesakkan. Apabila tahun lalu benang sutra bisa diperoleh dengan harga Rp 575.000 per kilogram, kini harga tersebut naik menjadi Rp 840.000 per kilogram. Perajin tenun ikat garut saat ini menerima kuota 5-6 kuintal bahan baku benang sutra per bulan.

Akibat kendala seperti itu, produksi tenun ikat yang dikerjakan sebanyak 96 orang ini pun terbilang minimal, hanya 500 meter per bulan. Biasanya sebanyak tujuh pekerja selama 1 bulan 2 minggu akan menghasilkan 10 meter kain tenun yang dijual Rp 40.000 per meter. Harga itu mungkin jauh lebih mahal ketimbang harga kain sutra biasa. Namun, di tengah kenaikan harga tak wajar, keuntungan petenun jelas berkurang.

”Dengan omzet sekitar Rp 200 juta per bulan, sebelum kenaikan harga para perajin masih bisa mendapat keuntungan sekitar 20 persen. Namun, setelah kenaikan harga mereka hanya bisa mendapatkan 15 persen,” kata Hendar.

Meski dililit beragam kendala, ketekunan petenun menjadi bahan bakar ampuh untuk menjalankan tenun ikat yang sempat mati suri ini. Dari hanya lima-enam perajin pada awal 2009, kini tercatat 96 orang bergantung hidup pada tenun garut. Ibu rumah tangga dan pemuda putus sekolah yang dulu tak berpenghasilan kini melanjutkan hidup dengan senyuman. Apalagi jika dibandingkan upah minimum regional Kabupaten Garut 2013, rata-rata pendapatan petenun dua kali lipat lebih besar. Petenun bisa mengantongi Rp 1,6 juta-Rp 1,8 juta per bulan.

”Pendapatan layak jelas kami syukuri. Namun, sangat membanggakan saat bisa menghidupkan tenun ikat garut,” kata Hendar.

Belajar dari dangdut

Sukses Hendar sebagai penggerak usaha tenun garut memang tidak mudah. Dia harus melintasi perjalanan panjang. Sama seperti rekan sebayanya, ia putus sekolah selepas lulus sekolah dasar. Tidak mau memberatkan kedua orangtuanya, ia merantau ke Jakarta dan Bandung. Ia mencoba beragam pekerjaan sebelum akhirnya menemukan dunia musik. Perlahan ia menjadi pemain keyboard andal. Kemampuannya memainkan keyboard bahkan mengantarkannya menjadi pemusik yang dirindukan penggemar musik dangdut di Bandung dan Jakarta. Nama julukan ”Rogesta” yang kini lekat di belakang namanya menjadi salah satu bentuk penghormatan bagi Hendar.

”Tarif terakhir grup musik dangdut saya Rp 300.000 per sekali pertunjukan di Jakarta dan setengah lebih murah jika main di Bandung. Setiap minggu minimal sekali manggung,” katanya.

Akan tetapi, kehidupan mapan ingar-bingar musik dangdut di Ibu Kota ternyata tidak selalu membuatnya bahagia. Apalagi saat mendengar usaha tenun ikat yang dijalankan ayahnya di Garut berhenti total pada 2009. Ayahnya bangkrut, menyerah menghadapi gempuran lonjakan harga bahan baku benang sutra. Banyak orang sekampung pun akhirnya menganggur karena hal itu.

”Tenun ikat punya sejarah menghidupi keluarga kami. Jika tidak dipertahankan, sejarah tenun ikat bisa hilang begitu saja. Saya nekat pulang kampung mengangkat pamor tenun ikat garut lagi,” ungkap Hendar.

Gayung bersambut. Niat baiknya datang bersama keinginan Perusahaan Gas Negara (PGN) dan Cita Tenun Indonesia untuk mengangkat tenun ikat garut. Dari nol, Hendar bersama beberapa temannya mulai belajar proses menenun. Mereka mulai menekuni pemilihan benang, perebusan, pemintalan, hingga pewarnaan kain tenun. Pengetahuan tentang pengemasan dan teknik marketing datang bersama sembilan alat tenun bukan mesin. Dua bangunan permanen untuk produksi tenun dan tempat promosi berdiri megah di tengah kampung.

Punya darah seni kental, tidak sulit bagi Hendar untuk menyerap materi pelatihan. Beberapa kali ia mampu menjadi peserta terbaik menerapkan teknik yang dipelajari. Pengalamannya di atas panggung membuatnya tidak canggung berhadapan dengan orang lain. Ia pun dinobatkan sebagai juru bicara paguyuban tenun garut.

Kemampuan teknis dan komunikasi itu juga yang membuatnya dipercaya mewakili rekan-rekannya melanglang buana ke sejumlah negara maju untuk memperkenalkan industri tenun. Negara seperti China, Jepang, dan Amerika Serikat sudah ia datangi. ”Tahun lalu, bersama perancang busana Sebastian Gunawan dan Agam Riyadi, kami ikut meramaikan peragaan busana tenun ikat garut,” katanya.

Akan tetapi, keuntungan besar bukan semata-mata hal yang dicari Hendar dan petenun lainnya. Mereka pun membagi rezeki yang mereka terima. Mereka sepakat menyumbangkan Rp 200 untuk setiap meter produksi tenun ikat. Terakhir, uang yang dikumpulkan sebanyak Rp 5,7 juta untuk biaya perbaikan jalan desa yang rusak sepanjang 200 meter.

Donasi bagi warga yang sakit juga diberikan. Untuk warga tidak mampu yang sakit, petenun terbiasa menyumbang Rp 200.000-Rp 250.000 per orang. Bukan untuk menyembuhkan, tetapi setidaknya meringankan beban.

”Kami tidak ingin berhenti. Saat ini, kami tengah menggodok ide budidaya pohon murbei dan ulat sutra dalam negeri. Keinginan itu akan digabungkan dengan ide rencana kampung wisata tenun Panawuan. Semoga saja ide besar itu bisa diwujudkan,” kata Hendar. (Cornelius Helmy)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com