"Tondi"
Torang pun tidak sembarangan memanfaatkan kain ulos untuk dijadikan produk mode dan kerajinan. Dia masih menjaga jenis ulos yang digunakan untuk keperluan sakral tidak dimodifikasi menjadi turunan produk lainnya, selain untuk sarung dan selendang.
Torang menambahkan, bagi masyarakat Batak, ulos adalah harta yang berharga yang patut dijaga sebaik mungkin. Bahkan, warisan ulos pantang dijual sembarangan karena ulos diyakini memiliki jiwa atau tondi yang dapat memengaruhi tondi si pemilik ulos.
Oleh karena itu, masyarakat Batak, terutama generasi tua, menyimpan warisan ulosnya dengan hati-hati dan jarang dikeluarkan. Bahkan, terkadang si penyimpan warisan ulos cenderung enggan menunjukkan ulos tersebut kepada orang lain. Tak sembarang orang boleh menyentuh warisan ulos leluhur tersebut sekalipun anak sendiri.
Sebagian besar koleksi ulos keluarga Torang yang dipamerkan di Museum Tekstil pun ditempatkan di dalam lemari-lemari kaca. Banyak dari koleksi ulos yang dipamerkan tersebut secara subtil memancarkan aura magis yang memikat. Perpaduan beragam motif dan warna-warna dari ulos-ulos itu membiaskan pesona yang dalam dan khidmat.
Dari beragam jenis ulos, menurut Torang, setidaknya ada 10 ulos yang kerap digunakan masyarakat. Di antaranya ulos ragi hotang yang diberikan mertua kepada menantu laki-laki dengan maksud agar ikatan batin kedua pengantin teguh seperti rotan. Ulos sedum tarutung diberikan kepada anak kesayangan yang membawa kegembiraan kepada keluarga. Harapannya sang anak membawa kebaikan dan mampu mencapai cita-citanya.
Sementara ulos ragi idup, yang khusus untuk laki-laki, dapat dikenakan pada upacara dukacita dan sukacita. Ulos ini juga dapat diberikan kepada seseorang yang tengah berulang tahun atau baru memangku jabatan tertentu ataupun naik pangkat.
Saat ini, sentra penghasil ulos di daerah Batak Toba, antara lain, Bakkara, Balige, Silalahi, Paropo, Tongging, Meat, Samosir, Lumban Suhi-suhi, Toba Holbung/Uluan, Muara, dan Tarutung.
Sejatinya pembuatan ulos dimulai dari pembuatan benang. Pemintalan kapas yang disebut mamapis telah lama dikenal masyarakat Batak sejak zaman dahulu. Kapas dipintal dengan alat yang disebut sorha.
Namun, saat ini, masyarakat lebih banyak memilih benang jadi di pasaran yang populer disebut benang seratus. Kemudian, proses menenun atau disebut martonun dimulai sejak memasukkan benang ke dalam alat tenun (gedokan) yang terbuat dari kayu. (Sarie Febriane)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.