Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengabdian Lewat Gamelan Sekaten

Kompas.com - 16/01/2014, 14:38 WIB
IRAMA gamelan mengalun dari pengeras suara di Masjid Agung Surakarta, Jawa Tengah, pekan lalu. Suaranya seakan menarik orang untuk datang mendekat. Irama gending yang membelai indera pendengaran berasal dari sepasang gamelan yang ditabuh di Bangsal Pradonggo yang berlokasi di halaman masjid.

Gamelan Kiai Guntur Sari dibuat pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) di Mataram, ditempatkan di bangsal sebelah utara. Kiai Guntur Madu dibuat pada masa pemerintahan Paku Buwono IV (1788-1820) di Kasunanan Surakarta, mendapat tempat di bangsal selatan. Kedua set gamelan hanya dimainkan saat sekaten, yakni sepekan sebelum hajad dalem berupa kirab gunungan, sehingga gamelan itu disebut gamelan sekaten.

Gamelan itu dimainkan oleh abdi dalem pengrawit sejak pukul 10.00 hingga pukul 24.00 setiap hari selama tujuh hari. Mereka hanya beristirahat pada saat azan. Saat paling unik adalah ketika gending yang dimainkan akan berakhir berpadu dengan suara beduk dan lantunan azan dari menara masjid.

Bukan perkara mudah memadukan konsentrasi dalam memainkan gamelan dengan mempertahankan stamina. Sebab, harus bermain dari pagi hingga malam hari walaupun disediakan pemain ”cadangan” yang dapat menggantikan pengrawit yang kelelahan atau berhalangan untuk hadir penuh.

Yadi (65), yang bergelar Mas Lurah Yadipangrawit, sudah 23 tahun menjadi abdi dalem di Keraton Surakarta. Tugasnya adalah kebayan yang memastikan tabuh gamelan berjalan lancar, misalnya soal kebutuhan logistik pengrawit. Jika ada yang kelelahan atau tak hadir, ia harus bermain.

Pengrawit mendapatkan honor Rp 15.000 untuk satu sesi bermain, yakni mulai pukul 10.00-12.00, 13.00-18.00, atau 20.00-24.00. Jika tiga kali bermain, mereka membawa pulang Rp 45.000 per hari. ”Honornya dibayarkan setiap sore. Untuk gaji bulanan, abdi dalem malah sudah setahun terakhir tak terima karena sedang ada ribut-ribut di keraton,” kata Yadi, pekan lalu.

Ia seharian berada di bangsal. Dari rumahnya di Matesih, Kabupaten Karanganyar, Jateng, Yadi berangkat ke Masjid Agung pukul 08.00 dengan mengendarai sepeda motor. Ia baru kembali ke rumah pukul 01.00.

Meski hanya mendapat honor kecil, yang tampak tidak seimbang dengan waktu, tenaga, dan pikiran yang dikeluarkan, tetapi Yadi tetap merasa senang, terutama jika banyak yang menonton. Perhatian dari penonton menjadi bahan bakar semangat para pengrawit.

Kadang jika terasa lelah, Yadi minum air rendaman kembang sesaji yang terletak di dekat gong. Hal ini ditirunya dari pengrawit terdahulu yang melakukan hal serupa. Beberapa penonton juga meminta air kembang setelah gending selesai dimainkan.

Kanjeng Raden Aryo (KRA) Saptodiningrat, sebagai thindih atau ketua kelompok pengrawit Keraton Surakarta, menuturkan, yang dilakukan abdi dalem lebih banyak pengabdian. Mereka lebih banyak mengharapkan berkah dari apa yang dilakukan.

Seperti Yadi, ia merasa dagangan istrinya lebih laku jika ia rajin ke keraton. Istrinya sehari-hari berjualan makanan. Meskipun gaji Yadi sebagai abdi dalem hanya Rp 73.000 per bulan, ia tetap bertahan mengabdi melalui pekerjaannya sebagai pengrawit di Keraton Surakarta.

Suaranya kuat

Tradisi gamelan sekaten dimulai sejak zaman Kasultanan Demak. Sunan Kalijaga memakai gamelan untuk menarik minat orang mengenal Islam.

Etnomusikolog dari Universitas Kyushu, Jepang, Prof Tamura Fumiko, mengungkapkan, gamelan sekaten berbeda dari perangkat gamelan lain. Pada gamelan sekaten tidak ditemukan kenong, slenthem, gender, gambang, rebab, suling, serta tidak ada sinden dan gerong yang mengiringi.

”Hanya alat-alat musik yang menimbulkan suara besar yang dipakai. Itu sebabnya dinamakan kiai guntur, karena suaranya yang kuat. Tahun 1960-an, suara tabuhan gamelan bisa terdengar dari Pura Mangkunegaran yang jaraknya beberapa kilometer dari masjid. Pengeras suara baru dipakai sekitar lima tahun terakhir,” ungkapnya.

Rangkaian gending akan dimulai dari gending ”Rambu” yang berasal dari kata tabbuna, bahasa Arab yang berarti Tuhan kami dan gending ”Rangkung” yang berasal dari kata rakhum. Kedua gending dimainkan bergantian oleh Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari. Setelah azan ashar dimainkan gending ”Barang Miring”.

”Gamelan ini ibarat kehadiran raja yang menemui rakyatnya dan gending adalah doa atau sabda raja,” kata perempuan berkebangsaan Jepang yang mendapat gelar kanjeng mas ayu (KMA) budayaningrum itu. (Sri Rejeki)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com