Ketika kami membawakan keroncong dengan gaya tempo dulu, yang mendengar hanya opa-opa dan oma-oma. Maka kami membuat terobosan untuk menjaring pendengar baru dengan musik keroncong yang lebih segar dan produktif,” ujar Andre Juan Michiels, pemimpin kelompok Krontjong Toegoe.
Krontjong Toegoe memiliki sembilan personel. Kelompok ini generasi ketiga. Ayah Andre, Arend Juan Michiels, pemain generasi kedua dengan Grup Musik Krontjong Poesaka Moresko Toegoe.
Penampilan Krontjong Toegoe di Bentara Budaya Jakarta merupakan bagian dari acara Apresiasi Budaya ”Krontjong Toegoe dari Masa ke Masa”, 16-17 Januari 2014. Acaranya, pameran, talkshow, dan pementasan.
Krontjong Toegoe salah satu cikal bakal musik keroncong di Indonesia yang dirintis kaum Mardijkers. Ini adalah sebutan untuk orang-orang yang dibebaskan dari perbudakan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Di kawasan rawa-rawa Cilincing, kaum Mardijkers membangun komunitas yang kini dikenal dengan nama ”Kampoeng Toegoe” alias Kampung Tugu. Mereka memainkan musik di kala senggang dengan ukulele, yakni alat musik petik mirip gitar kecil berdawai lima. Jika alat musik ini dipetik, berbunyi ”crong... crong... crong...”.
Pada perkembangannya, alat tersebut dimainkan bersama biola, gitar, rebana, mandolin, suling, cello, dan gendang.
Andre mengatakan, keroncong generasi ayahnya, Arend, hanya membawakan lagu-lagu keroncong tempo dulu. Lagunya tanpa banyak aransemen baru.
Andre mengenalkan keroncong kepada anak-anaknya sejak mereka berusia tujuh tahun, yang kini tergabung dalam Mardijkers Junior dengan para anggota berusia 13-19 tahun.
”Berbeda dengan saya. Ketika di usia belia, justru ayah saya melarang menyentuh alat musik keroncong,” kata Andre.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan