Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Songket Halaban, Menawar Godaan Ekonomi

Kompas.com - 21/01/2014, 15:18 WIB
TANGAN kiri Iyet Novianti (39) sibuk memilih benang-benang halus di jalur lusi, sementara tangan kanannya memegang teropong berisi benang pakan. Setelah merapikan benang lusi di alat tenun bukan mesinnya, Iyet melempar teropong melalui sela-sela benang lusi. Lalu, sisir ditarik dua kali untuk merapatkan benang pakan.

Sambill menenun, penenun songket di Nagari Halaban, Kecamatan Lareh Sago Halaban, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, itu berdiskusi dengan Epi Irawati, penenun dan pengumpul songket di Halaban. Mereka tengah menunjukkan corak songket kepada pelatih yang didatangkan Cita Tenun Indonesia bekerja sama dengan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Rabu (8/1/2014), di kediaman Iyet.

Wignyo Rahadi, pemilik Tenun Gaya, dan Zaini Rais dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, menjelaskan struktur penenunan dan corak yang dimaksud. ”Jangan bilang lambek (lambat), ibu-ibu. Menenun tidak bisa buru-buru, harus tekun dan sabar,” kata Wignyo.

Pilihan pada Halaban menurut koordinator program pelatihan tenun CTI-PKBL Garuda, Sjamsidar Isa, karena penenun Halaban berhimpun dalam Ikatan Penenun Halaban sehingga lebih mudah mengoordinasi. Peserta pelatihan akan menjadi pelatih buat penenun lainnya. ”Tenun Halaban sedang tumbuh, kualitasnya perlu diperbaiki. Selain struktur dan corak, penenun juga diajari mewarnai benang,” papar dia.

Dalam pelatihan, terlihat upaya meningkatkan kapasitas perajin tradisional tidak semata-mata urusan meningkatkan kemampuan teknis. Meski keterampilan pengerjaan amat penting, yang tidak kalah penting adalah mengubah sudut pandang dan sikap hidup. ”Kami datang empat kali, tiap kali tiga hari, dan hanya melatih 25 orang paling banyak,” jelas Sjamsidar.

Nagari Halaban, sekitar 220 kilometer dari Padang, berada di lereng Gunung Sago, tak jauh dari perbatasan dengan Riau. Kampung ini mulai menenun lagi tahun 1990, meski tradisi menenun ada jauh sebelumnya di sana.

Maizar (49), penenun dan pengumpul songket, meyakini, nenek buyut ibunya menenun. Saat itu, perempuan wajib menenun selimut sebelum menikah. Bahannya dari serat pisang atau rami.

Pengurus Dekranasda Sumatera Barat, Amril MY Datuk Garang, yang mendampingi pelatihan, mengatakan, dari sisa alat tenun yang ada, tampaknya Halaban berhenti memproduksi tenun sekitar awal tahun 1900-an. ”Mungkin sumber panghasilan lain lebih menarik. Kemungkinan bertani nanas,” kata dia.

Adat dan ekonomi

Bagi masyarakat Minang, kain songket adalah ungkapan kehidupan. Karena itu, songket awalnya merupakan pakaian adat yang wajib dimiliki tiap orang. ”Corak di songket dan ukiran rumah Minang menggambarkan manusia sebagai ciptaan Tuhan,” kata seniman Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto yang biasa dipanggil Mak Katik (65).

Filosofi hidup orang Minang seperti alam takambang jadi guru serta adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, terwujud dalam corak songket yang banyak mengambil simbol dari alam.

Ragam bintang tatabur menggambarkan di tiap kampung terdapat orang-orang terkemuka. Corak itik pulang petang menggambarkan saling tolong di komunitas. Motif pucuk rebung melambangkan sepanjang hidupnya orang harus selalu berguna. ”Bambu yang muda (rebung) bisa dimakan. Ketika besar menjadi pohon bambu manfaatnya banyak,” jelas Datuk Garang yang menulis sejumlah buku mengenai kain Sumatera Barat.

Songket di Sumatera Barat diyakini berkembang di Silungkang pada abad ke-12 atau ke-13. Kepandaian menenun dari daerah Patani di Thailand itu dikembangkan untuk perempuan karena para lelaki merantau.

Di Silungkang kini songket digunakan untuk berbagai produk, selain kain sarung, juga busana hingga aksesori, seperti tas dan sepatu. Daerah penghasil songket lainnya adalah Sungayang, Kabupaten Tanah Datar; Kubang, Kabupaten Lima Puluh Kota; Unggan, Kabupaten Sijunung; dan Pande Sikek, Kabupaten Tanah Datar.

Di Pande Sikek, penenun wajib menjaga rahasia pembuatan tenun. ”Kalau melanggar sumpah menjaga rahasia, yang melanggar dipercaya akan mendapat kesusahan,” papar Datuk Garang.

Dalam perkembangannya, songket menjadi komoditas ekonomi. Ketua Ikatan Tenun Halaban Erlinda mengakui banyak penenun tak paham makna di balik corak songket. ”Padahal kalau mengerti arti corak, menenun juga lebih lancar,” kata dia.

Mak Katik mengakui pergeseran tersebut. ”Kalau konsep kehidupan orang Minang tidak dituliskan dengan baik dan tidak diajarkan, maka akan jadi komoditas,” tutur Mak Katik di Aiek Angek. (Ninuk M Pambudy)  

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com