Susunan ini lalu dibakar dan ditempa. Hasil tempaan itu lalu dilipat dan ditempa ulang. Di Sumenep, bahan awal keris disebut khodokan. ”Di Kecamatan Lenteng, banyak yang membuat tempaan awal atau khodokan. Yang dulunya bikin arit, diajari bikin keris,” ujar Fathurrahman.
Para empu atau pande alusan di Bluto dan Saronggi kemudian menggarap lebih lanjut detail keris. Bilah-bilah dibentuk berkelok (luk) atau lurus dengan bantuan gerinda atau alat pahat. Pangkal-pangkal keris diberi ornamen sesuai tipe keris klasik yang telah ada atau pesanan pelanggan. Setelah itu keris direndam dalam cairan walirang dan warangan demi mengeluarkan pamor. Ada juga pemesan yang ingin keris berkesan tua. Proses penuaan dengan bahan kimia butuh sekitar satu bulan.
”Satu buah keris dengan banyak detail, garapannya selesai kira-kira dua minggu. Itu saya bekerja mulai dari pagi hingga sore setiap hari,” ujar Hermanto.
Setelah itu keris dilengkapi dengan sarung (warangka) dan pegangan yang antara lain terbuat dari kayu bintaos, cendana, kemuning, sawo, mimba, dan asem. Harga sarung keris bergantung pada jenis kayu, mulai dari sarung kelas kodian dari kayu sawo seharga Rp 15.000 hingga sarung dari kayu cendana yang harganya jutaan rupiah.
Pemesan terkadang ingin melapisi kerisnya dengan emas. ”Mereka beli emasnya sendiri atau diserahi ke perajin. Emas 23 atau 24 karat yang sering dipakai. Tinggal tambah biaya emasnya saja,” ujar Hermanto.
Jiwa sebilah keris
Harga sebilah keris, kata Fathurrahman, bergantung pada tingkat kesulitan pembuatan, detail-detail ricikan, pamor, dan besinya. Keris karya perajin di Palongan harganya bisa jutaan hingga puluhan juta. Hermanto, misalnya, biasa mendapat pesanan dari kolektor di Jakarta yang bersedia membayar jutaan rupiah untuk sebilah keris.
Ada juga produksi keris kelas kodian yang dijual dalam rentang harga ratusan ribu rupiah. ”Jualnya partai besar. Perajinnya dalam sehari bisa membuat sampai lima keris,” ujar Hermanto.
Akan tetapi, sebilah keris tak hanya dinilai fisiknya. Bahkan, terkadang kisah dan anggapan kekuatan magisnya bernilai lebih besar. Fathurrahman mengatakan, terkadang pemesan meminta keris yang bertuah dari para empu. Untuk itu, bakal diadakan ritual.
”Ritual itu warisan dari leluhur. Sebelum penempaan awal, biasanya ditabur bunga. Ada juga tumpeng agung yang diumpamakan kekuasaan Tuhan yang Maha Agung. Di balik ritual itu, disampaikan permohonan kepada Yang Maha Kuasa,” ujar Fathurrahman yang mempelajari pula Serat Centhini untuk pembuatan ritual pusaka. Baru saja Fathurrahman mendapatkan pesanan pusaka. Para pemesan itu mengirim nama dan tanggal lahirnya untuk keperluan ritual. ”Ya, itu ada hitungan dan rumusnya,” ujarnya.
Ritual dilengkapi dengan sesajen, seperti jajan pasar, kembang, buah-buahan, dan tajin nasi jagung, ketan hitam, ataupun kacang hijau. Inti seluruh sesajen adalah doa empu kepada Yang Maha Esa yang diwakilkan dengan kehadiran tumpeng dengan harapan mendapatkan hasil yang baik bagi empu dan pemesan pusaka (lihat Spirit of Iron; The Life Story of Kris Crafters from Sumenep, Madura, Unggul Sudrajat dkk).
Di masa modern, kehadiran keris memang lebih sebagai benda yang luhur ketimbang senjata. Seni, identitas, kisah, dan simbol menjadi jiwa di dalamnya. (Indira Permanasari)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.