Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengawal Malam di Angkringan

Kompas.com - 27/01/2014, 08:15 WIB
DALAM beberapa tahun terakhir, keberadaan warung angkringan atau ”wedangan hik” khas Klaten, Yogyakarta, dan Solo makin menjamur di Jakarta. Relatif makin banyaknya pengunjung menjadi sebab utama ekspansi yang dilakukan sejumlah pengusaha warung angkringan.

Dulu waktu pertama dimulai tahun 2004 baru ada enam gerobak, sekarang udah 34 gerobak,” kata Nardiwiyono (63), Selasa (21/1/2014) dini hari. Ia merupakan salah seorang penjaga gerobak warung angkringan di salah satu sisi Jalan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Nardiwiyono bekerja untuk salah seorang pengusaha warung angkringan itu sejak tahun 2006. Ia tinggalkan sementara kehangatan keluarga bersama seorang istri, lima anak, dan sepuluh cucu di Klaten demi pekerjaan itu.

Ia bekerja mulai pukul 18.00 hingga pukul 02.00 dini hari. Akhir pekan merupakan masa paling ramai, karena pengunjung yang didominasi anak muda biasa duduk lesehan di dekat gerobaknya.

Namun pada hari-hari biasa, seperti di malam itu, sebagian besar orang yang mendatangi warung tersebut adalah pekerja yang baru menuntaskan rutinitas harian. Seperti dua pengunjung pada malam itu yang menghabiskan waktu sekitar setengah jam untuk mengonsumsi sejumlah penganan di angkringan tersebut.

Berteman sebuah radio transistor dua gelombang yang menemaninya dengan lagu-lagu dangdut, Nardiwiyono meracik sejumlah minuman. Di antaranya susu jahe, kopi, dan teh tubruk.

Baginya, aneka minuman itu menjadi andalannya beroleh uang. Misalnya untuk setiap gelas susu jahe seharga Rp 5.000, ia mengambil untung Rp 2.000.

KOMPAS/INGKI RINALDI Suasana warung angkringan di Jalan Pesanggrahan Raya, Jakarta.
Adapun segelas minuman jeruk seharga Rp 4.000, keuntungan Rp 1.500 jadi miliknya. Adapun kopi dan teh seharga Rp 3.000, bagian keuntungannya sebesar Rp 1.000.

Ini karena harga makanan yang relatif murah, cenderung tidak memberinya banyak marjin keuntungan. Misalnya, sebungkus nasi kucing seharga Rp 2.000, hanya Rp 200 yang jadi bagiannya.

Demikian pula beragam sate, seperti usus, kulit, dan kepala ayam yang ditawarkan dengan harga dan marjin keuntungan sama. Adapun untuk beragam jenis gorengan yang ditawarkan Rp 2.000 per tiga buah, ia hanya beroleh untung Rp 100.

Padahal, setiap harinya ia masih harus mengeluarkan uang Rp 10.000 untuk sewa gerobak, membeli arang guna memasak Rp 11.000, dan uang makan Rp 5.000. Selain itu, ia perlu juga mengeluarkan uang Rp 15.000 untuk 1 liter minyak tanah guna lampu penerangan yang cukup dipakai hingga dua hari.

Tradisine wedangan hik, yo ngeten iki Mas (Tradisi wedang hik, ya begini Mas),” kata Nardiwiyono.

Sebagian besar pengunjung warung tersebut adalah pria dewasa. Sementara itu pada akhir pekan, anak-anak muda turut meramaikan kedai sederhana yang temaram itu.

”Tapi jumlah pengunjung saat ini sudah berkurang dibandingkan beberapa tahun lalu. Mungkin karena jumlah warung angkringan makin banyak,” sebut Nardiwiyono.

Dini hari itu, ucapannya, memang terbukti tatkala masih relatif banyak makanan dan minuman tersisa ketika ia menutup warung angkringan tersebut.

KOMPAS/INGKI RINALDI Ditemani radio transistor.
Adapun warung angkringan di salah satu sisi Jalan Raya Pesanggarahan, Jakarta, relatif berbeda dengan yang dijaga Nardiwiyono karena menggunakan lampu listrik sebagai penerangan. Untuk mendengarkan musik juga bukan lagi radio transistor, dan jumlah penjaga warung yang turut melayani tidak hanya seorang, tetapi tiga orang.

Juga ada tempat lesehan khusus yang relatif terang dan dipenuhi pengunjung. Warung angkringan itu menarik minat orang-orang seperti Swandoyo (51) dan Yogi (25) yang ditemui pada Selasa (21/1/2014) malam hingga Rabu (22/1/2014) dini hari.

Swandoyo adalah praktisi pemasaran yang malam itu merasa perlu duduk sembari menikmati susu jahe di warung angkringan. ”Dulu saya penyuplai teh tubruk untuk warung angkringan,” kata Swandoyo.

Oleh karena itulah tak mengherankan jika ia hafal peta warung-warung angkringan di Jakarta. Swandoyo mencatat, menjamurnya warung angkringan di Jakarta yang cenderung identik dengan nasi kucing berporsi relatif sedikit itu mulai terjadi sekitar lima tahun terakhir.

”Penyebabnya, jumlah pekerja urban cenderung makin banyak. Kan, hampir semua orang datang ke Jakarta. Mereka yang berasal dari atau pernah tinggal/sekolah di Yogyakarta-Solo dan sekitarnya tentu saja sudah terbiasa nongkrong di hik/wedangan (Solo) atau angkringan (Yogya). Kerinduan akan kebiasaan ”ngangkring”. Itulah sebabnya angkringan yang di Jakarta kemudian dikenal dengan nama nasi kucing itu menjamur.

Bagi Swandoyo, menikmati makanan dan minuman serta suasana di warung angkringan seperti proses untuk menetralisasi jiwanya. ”Karena saya tidak terlalu suka kebisingan,” kata bapak empat anak itu.

Swandoyo, yang tinggal di kawasan Meruya, Jakarta Barat, itu bisa mendatangi warung angkringan seperti itu hingga tiga kali dalam sepekan. ”Itu belum lagi jika anak saya mengajak ke angkringan pada akhir pekan,” sebutnya.

KOMPAS/INGKI RINALDI Sebagian peralatan untuk membuat minuman.
Sementara itu bagi Yogi, keputusan makan di angkringan diambil karena ia ingin mencari variasi lain untuk bersantap. ”Juga karena warung angkringan ini lokasinya dekat dengan kantor saya,” kata Yogi yang bekerja di salah satu perusahaan media itu.

Warung angkringan yang dia maksud sudah beroperasi sekitar dua tahun di lokasi tersebut. ”Warung pertama ada di kawasan Bendungan Hilir, sejak sekitar tiga tahun lalu,” kata Fitrianto (28), salah seorang penjaga warung angkringan yang berasal dari Pekalongan.

Jumlah pengunjung yang cenderung bertambah memang seperti membuat ekspansi gerobak-gerobak angkringan itu cenderung tak terelakkan. (Ingki Rinaldi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber KOMPAS
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com