Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menonton Wayang di Pasar Imlek Semawis

Kompas.com - 30/01/2014, 15:20 WIB
DI Pasar Imlek Semawis yang diadakan oleh Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata atau Kopi Semawis, wayang potehi yang berasal dari China selalu hadir sebagai identitas budaya Tionghoa. Pertunjukan wayang berlangsung setiap tahun di tengah keriuhan pasar malam yang berlokasi di Jalan Wotgandul Timur hingga Gang Pinggir kawasan pecinan, Semarang, Jawa Tengah.

Menyambut datangnya Cia Gwee 2565, dalam Pasar Imlek Semawis (PIS) 2014, wayang kulit purwa dan berbagai jenis wayang lain seperti wayang golek dari Jawa Barat atau wayang klithik dari Yogyakarta juga ikut ditampilkan mulai Senin (27/1/2014) hingga Rabu (29/1/2014).

Saat menyusuri jalan, suasana akan berganti. Di panggung wayang potehi, yang terdengar adalah ramainya alat musik gembreng, kecer, suling, rebab, tambur, hingga trompet. Meski pengunjung berlalu lalang di antara panggung dan penonton, tidak ada yang terganggu.

Berjalan lebih jauh, sayup-sayup akan mulai terdengar alunan musik gamelan yang meneduhkan berpadu dengan suara dalang yang lengkap dengan ketokannya. Pertunjukan wayang purwa tengah berlangsung. Senin malam, dalang cilik bernama Jose Amadeus Krisna menghibur para penonton. Mereka dikelilingi aneka kuliner Semarang, seperti soto ayam, nasi ayam, juga lumpia hingga es puter.

Wayang menjadi tema sentral pada PIS yang kesebelas ini. Ketua Panitia PIS 2014, Harjanto Halim, mengatakan, wayang selain menjadi tontonan juga merupakan tuntunan. Ada banyak nilai-nilai baik yang disampaikan dalam setiap tokoh dan cerita. Pada akhirnya wayang juga memperlihatkan bahwa hanya kebenaran dan kejujuran yang dapat mengalahkan kelicikan dan keculasan.

”Pertunjukan budaya menjadi ajang interaksi yang sehat dan harmonis. Orang Tionghoa dalam perjalanannya juga jatuh cinta pada budaya Jawa,” tuturnya.

Guru Besar Seni Karawitan Institut Seni Indonesia Solo Rustopo mengatakan, orang Tionghoa juga turut berperan dalam mengembangkan budaya Jawa.

Pada akhir abad ke-19, pertunjukan wayang orang mulai meredup di Keraton Mangkunegaran Solo. Hal ini membuat para pemainnya kehilangan pekerjaan. Momentum ini kemudian justru dilirik sebagai peluang oleh pengusaha Tionghoa. Maka para pemain wayang orang itu direkrut dan disediakan wadah untuk pentas. Masuklah wayang orang ke dalam dunia industri hiburan kala itu.

Adalah Gan Kam yang memulai upaya itu di Solo. Langkah ini kemudian yang menjadi cikal bakal terbentuknya pagelaran wayang orang Sriwedari yang eksis hingga kini.

Perkumpulan wayang orang pun bermunculan. Bukan semata bermotif ekonomi, tetapi lebih pada kesenangan. Pada waktu itu menonton wayang orang merupakan kebanggaan tersendiri. Kebanyakan mereka yang menonton adalah termasuk golongan masyarakat menengah ke atas.

Rustopo menyebutkan, ada 60 kelompok profesional pemain wayang orang di Jawa pada saat itu. Pemainnya tidak hanya orang asli Jawa, tetapi juga warga Tionghoa, seperti Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS), atau Mekar Terate di Semarang.

Pengajar bahasa Perancis Universitas Negeri Semarang, Conny Handayani, misalnya, bercerita, ia bergabung dalam Mekar Terate sejak kecil. Ia ingat, perkumpulan yang diikutinya kemudian bubar pada tahun 1965 karena takut disangka anggota Partai Komunis Indonesia.

Suhartono Padmosumarto atau yang akrab disapa Maston, pendiri Teater Lingkar, dan penggagas Pagelaran Wayang Kulit Malam Jumat Kliwonan, mengungkapkan, bagaimana menarik anak muda untuk tertarik menonton wayang sangat bergantung pada sang kreator atau sutradara atau dalang. Ada banyak cara yang dapat dilakukan, seperti mempersingkat durasi, atau menambahkan konteks kekinian dalam cerita yang disampaikan.

Biar bagaimanapun, wayang, menurut Ketua Perkumpulan Seni Budaya Sobokartti, Tjahjono Rahardjo, menyampaikan nilai-nilai luhur tanpa menggurui siapa pun yang menyaksikan. Wayang juga mengajarkan toleransi, tidak ada hitam dan putih, benar atau salah.

Pemerhati Semarang, Jongkie Tio, mengungkapkan, berbeda dengan wayang purwa yang merupakan kesenian dan hiburan rakyat, wayang potehi yang berasal dari China awalnya banyak dipentaskan di kelenteng-kelenteng sebagai pertunjukan untuk dewa. Karena itu, sekalipun tidak ada yang menonton, dalang wayang potehi tetap bermain.

”Tetapi saat ini orang menonton juga untuk hiburan. Sayangnya sekarang dalang wayang potehi sangat jarang. Di Semarang, hanya ada satu dalang. Sulit sekali regenerasinya,” ungkap Jongkie.

Hal ini berbeda dengan wayang purwa yang sekarang mulai bergeliat. Anak-anak muda yang tergabung dalam Komplotan Bocah Wayang (Koboy), misalnya, mengadakan banyak kegiatan untuk menyosialisasikan wayang kepada anak-anak, mulai dari mengadakan workshop di sekolah-sekolah hingga membuat aneka produk, seperti kaus, pin, dan mug dengan gambar wayang.

Tentunya, jika melestarikan wayang merupakan tanggung jawab bersama, maka baik wayang purwa maupun wayang potehi, sama-sama harus dipertahankan. Ini kemudian menjadi pekerjaan rumah bersama, untuk semua, tak peduli Jawa, Batak, Sunda, Bugis, atau Tionghoa. (Amanda Putri Nugrahanti)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com