Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Muaro Jambi, Mau Ekonomi atau Kelestarian?

Kompas.com - 11/02/2014, 09:09 WIB
WAJAH Candi Gumpung dalam dua tahun terakhir berubah drastis. Kompleks candi yang semula senyap, belakangan ini bagaikan pasar kaget, terutama pada akhir pekan atau masa liburan. Sepanjang jalan menuju kawasan candi, bukan hanya padat pengunjung, melainkan juga deretan pedagang dengan sejumlah barang dagangan di toko dan penyewaan sepeda. Ironisnya, sampah pun berserakan.

"Mari Mbak, sewa sepeda Rp 10.000 sudah bisa jalan-jalan sepuasnya,” ujar David, Sabtu (25/1/2014) lalu. Perempuan muda yang ditawari itu pun berhenti sebelum memandang ke puluhan sepeda dengan berbagai jenis yang diparkir berbaris di depan kios. Tampak, sepeda untuk jelajah alam, sepeda tandem dua dan tandem tiga, hingga sepeda untuk anak-anak.

Begitu banyak pilihan membuat pengunjung itu sedikit bingung. Apalagi, ketika pandangannya beralih ke penyewaan sepeda di toko sebelahnya. Di toko tersebut, ternyata sepeda sewaan yang ditawarkan lebih beragam lagi pilihannya. Total seluruhnya tercatat ada 850-an sepeda yang disewakan penduduk setempat. Untuk menjajakan sepedanya, penduduk membangun kios di sepanjang jalan menuju Kompleks Candi Gumpung. Becak-becak juga tak mau ketinggalan, ikut mangkal di tepi jalan.

Sebanyak 40-50 pedagang makanan dan minuman juga ikut meramaikan kawasan candi tersebut. Mereka menggelar usaha di antara candi dan menapo atau tumpukan bata yang membentuk struktur candi. Usaha sewa tikar dan plastik untuk alas duduk juga marak. Setidaknya, tercatat, jumlah pengunjung sehari pada akhir pekan di candi tersebut mencapai sekitar 1.000 orang.

Akibat padatnya pengunjung serta deretan pedagang dan barang dagangan, termasuk sepeda dan becak, jalan setapak selebar 1,5 meter di dalam kompleks candi pun sering kali tak bisa dilalui.

Dua tahun lalu, saat menggagas pengembangan wisata berbasis kesejahteraan masyarakat lokal, Abdul Hafiz, salah satu pemilik penyewaan sepeda di Candi Gumpung, tak mengira keberadaan lokasi tersebut bisa berubah drastis. Dulu masyarakat belum sadar jika keberadaan Situs Muaro Jambi bisa menjadi sandaran hidup.

Saat merintis usaha bersama teman-temannya, Hafiz yang biasa dipanggil Ahok, bekerja sama dengan Koperasi Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi. Usahanya kemudian ternyata diminati. ”Pengunjung senang karena dengan sepeda mereka lebih mudah menjangkau satu candi ke candi lainnya,” ujarnya.

Dari sana, penyewaan sepeda kemudian menjamur. Usaha David, misalnya, dalam waktu setahun sudah bisa balik modal. Awalnya, David hanya modal lima sepeda, tetapi sekarang sudah bertambah menjadi 13 sepeda untuk disewakan.

Kunjungan menurun

Namun, pesatnya kenaikan jumlah pengunjung dan berkembangnya usaha kecil di areal situs tersebut mengundang kekhawatiran. Alasannya, kondisi tersebut tidak hanya membuat wisatawan menjadi tidak nyaman saat berkunjung, buntutnya, lama-kelamaan tingkat kunjungan wisatawan pun menurun.

Bahkan, aktivitas yang padat dalam kompleks candi tersebut juga bisa mengancam kelestarian peninggalan arkeologi tersebut. ”Saya pernah menegur seorang fotografer yang memanjat candi dan memotret dari atasnya untuk sebuah kegiatan foto menjelang pernikahan. Keterlaluan!” ujar Hafiz.

Apalagi, sejak selesainya pembangunan Jembatan Batanghari II, akses dari Kota Jambi menuju Situs Muaro Jambi menjadi semakin cepat, yaitu hanya sekitar 20 menit. Padahal, sebelumnya bisa satu jam. Sejak itu pula, jumlah wisatawan semakin meningkat pesat. Sebelum tahun 2010, jumlah pengunjung hanya 15-20 orang per hari. Kini, jumlahnya mencapai 150 orang per hari. Peningkatan kunjungan inilah yang coba dimanfaatkan masyarakat lokal.

Oleh sebab itu, lanjut Hafiz, perhatian pemerintah saat ini sangat diperlukan untuk melindungi kawasan candi. Pemerintah perlu menata agar maraknya usaha kecil dalam kompleks candi jangan sampai berdampak melemahkan daya tarik situs. ”Saat ini, memang sudah terlalu banyak pedagang dan usaha penyewaan sepeda berdiri di sekitar candi. Ini yang perlu segera diatur agar lebih tertib lagi,” lanjutnya.

Cagar budaya

Pada 30 Desember 2013, Muaro Jambi ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya (KCB). Penetapan ini mendorong upaya percepatan untuk menyelamatkan kawasan candi dari kepentingan yang merusak. Sayangnya, dalam lima tahun terakhir ini bermunculan industri-industri berskala besar yang menggempur menapo dan candi.

KOMPAS/IRMA TAMBUNAN Hasil ekskavasi yang dilakukan sejak tahun 2012 mengungkapkan Kedaton sebagai kompleks candi terbesar dalam kawasan Cagar Budaya Muaro Jambi, Jambi. Di kawasan seluas 3 hektar tersebut, terdapat banyak peninggalan kuno. Untuk itu, diperlukan pengamanan yang lebih ketat agar peninggalan kuno tetap terjaga. Gambar diambil pada 25 Januari 2013.
Setidaknya, ada tujuh usaha penimbunan batubara serta pabrik pengolahan sawit dan penampungan minyak sawit mentah di zona inti KCB Muaro Jambi, seperti Candi Teluk I, Candi Teluk II, Candi Cina, serta Menapo Pelayangan I dan II, di Kecamatan Jambi Luar Kota dan Taman Rajo.

Candi Cina juga kerap dibanjiri genangan air hujan bercampur batubara. Warnanya hitam pekat dan mengandung kadar logam tinggi yang terurai air hujan sehingga menghasilkan kadar asam tinggi. Jika kondisi itu terus terjadi, pengeroposan bata kuno bakal semakin cepat. Debu batubara yang beterbangan juga masuk ke pori-pori candi.

Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Junus Satrio Atmodjo mengatakan, penanganan pelestarian KCB Muaro Jambi perlu sangat hati-hati. Benturan kepentingan industri dan wisata jangan sampai melemahkan kelestarian situs. Mana yang mau diprioritaskan? (Irma Tambunan)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com