Piring-piring berisi nasi mengepul dengan potongan bebek goreng dan sambal mulai diedarkan di atas meja salah satu restoran bebek yang terdapat di dekat Jembatan Suramadu. Itu santapan pertama di Pulau Madura dalam perjalanan bersama para blogger yang menjadi juara ajang Dji Sam Soe Potret Mahakarya Indonesia, Desember lalu.
Saya lirik empat blogger juara itu. Ada Amril Taufik Gobel (Bekasi), Danan Wahyu Sumirat (Jambi), Dwi Aryani (Malang), dan Syaifullah (Makassar). Di antara mereka hadir pula sejarawan JJ Rizal. Para blogger belum menyentuh sajian itu. Mereka malah sibuk memotret paha dan dada bebek yang terlihat empuk. Saya yakin (selama ada jaringan internet), dalam hitungan menit, bebek-bebek itu bakal tampil di media sosial mereka. Sesuai tujuannya, mereka memang diajak berkeliling untuk menyebarkan cerita tentang warisan budaya Indonesia. Kali ini tentang Sumenep, Madura.
Daging bebek goreng yang lembut, gurih, dan kaya rasa itu seperti memberi isyarat betapa Madura memiliki beragam warna. Ada kearifan, keterbukaan, sekaligus kekayaan rasa budaya yang tak lepas dari sejarah panjang kekuasaan di pulau itu.
Kekayaan
Kekayaan budaya itu benar-benar mewujud ketika kami tiba di Keraton Sumenep keesokan harinya. Di kompleks bangunan itulah pengaruh Jawa, Madura, Eropa, dan Tionghoa melebur dalam gaya arsitektur dan ornamen. Keraton itu dibangun pada era penguasa Sumenep Natakusuma I alias Panembahan Somala sepulang dari peperangan Blambangan tahun 1767. Keraton itu selesai dibangun tahun 1780.
Tentang huru-hara Tionghoa, sejarawan JJ Rizal lalu bercerita, kehadiran orang Tionghoa di Madura tak lepas dari Peristiwa 1740, yakni pembantaian terhadap orang Tionghoa di Batavia yang merembet menjadi perlawanan besar orang Tionghoa, terutama di Semarang. Banyak orang Tionghoa yang lari, termasuk ke Sumenep.
”Tidak hanya diterima oleh Natakusuma I, orang-orang Tionghoa juga diminta membantu mimpi besar Natakusuma I, yakni membangun bangunan-bangunan besar. Motif banji yang berakar dari ornamen swastika dan motif burung hong pada ukiran di keraton, misalnya, bagian dari jejak Tionghoa,” ujar JJ Rizal.
Pengaruh Tionghoa itu juga terlihat di masjid jamik yang juga diarsiteki Lau Piango. Namun, kesan islami tetap hadir. ”Orang Tionghoa kemudian menjadi masyarakat peranakan Madura yang mengalami asimilasi sehingga sulit dikenali lagi,” katanya.
Jejak tradisi Jawa tentu tetap hadir di keraton. Susunan keraton, misalnya, tak berbeda dengan keraton Jawa umumnya. Seperti kata Tadjul, formasi bangunan itu seperti keraton di Jawa pada umumnya, yakni menghadap ke selatan, berupa bangunan induk yang di depannya berdiri pendapa agung tersambung dengan koridor (mandiyoso). Di bagian tenggara ada pemandian putra-putri raja, tamansare (taman bunga). Di sebelah timur pendapa tumbuh rindang pohon beringin tua.
”Ada upaya melepaskan diri dari pengaruh Jawa di Madura, utamanya dari Mataram. Itu pula sebabnya, penguasa di Sumenep terpaksa berdekatan dengan kompeni untuk melawan pengaruh Mataram. Pengaruh Eropa ini kuat pada masa Sultan Natakusuma I dan penerusnya, Panembahan Natakusuma II,” ucap JJ Rizal. Natakusuma I dan Natakusuma II memimpin Sumenep pada akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19.
Pada masa Natakusuma I dan II, ratusan atau bahkan ribuan tentara dari Madura berkali-kali dikirim untuk berperang, antara lain perang di Blambangan, melawan Kerajaan Bone di Sulawesi, dan perang Diponegoro. Inilah kepedihan yang dibawa peperangan.
Dihormati
Oleh para penguasa asing yang masuk ke Sumenep, Natakusuma II yang cerdas mendapat penghormatan. Ketika Inggris datang tahun 1811, Natakusuma II membantu Raffles menerjemahkan temuan prasasti di Bali yang ditulis dalam huruf Sansekerta. ”Madura memiliki tokoh-tokoh yang besar dan terdidik. Bahkan, Thomas Stamford Raffles dalam History of Java mengakui, tidak mungkin buku itu kelar tanpa bantuan Natakusuma II. Pengakuan ini sesungguhnya berat untuk dikatakan Raffles. Jadi, Raffles tidak basa-basi,” tutur JJ Rizal.
Tokoh yang dimakamkan berbalut kisah magis. Seperti cerita Panembahan Natakusuma I yang dikisahkan membangun keraton dan masjid jamik hanya dengan sekendi air atau kisah Bindara Saod, ayah Natakusuma I, yang mengeluarkan sinar ketika tidur sebagai tanda jalan hidupnya sebagai orang besar dan alim. Dengan sungguh-sungguh warga mengirim doa.
Sayup-sayup doa ratusan peziarah berdengung di udara, membangkitkan kekhusyukan. Dalam lantunan doa itu, kami tinggalkan Asta Tinggi. (Indira Permanasari)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.