DARI desa-desa nan gersang di Lamongan, Jawa Timur, ribuan orang menyerbu kota besar dari Jakarta hingga Jayapura dengan satu tujuan: membuka warung soto dan pecel lele. Dan, nasib mereka pun berubah.
Tepat di atas trotoar Jalan Palmerah Barat, Jakarta Barat, Badri berjualan pecel lele dan soto ayam. Warung tendanya hanya beberapa jengkal dari badan jalan yang padat dan bising oleh deru dan klakson kendaraan bermotor. ”Saya sudah 30 tahun jualan di sini Mas,” ujar Badri di sela-sela kesibukannya melayani pembeli.
Ketika senja merambat pelan, aktivitasnya di warung tenda itu kian cepat. Pembeli datang silih berganti memesan soto ayam, pecel ayam, atau pecel lele. Sebagian di antara mereka adalah karyawan kantor dan pengunjung Pasar Palmerah yang berjarak hanya sepelemparan batu dari warung itu. Badri dan dua pelayannya pun nyaris tiada henti meracik sambal pecel; soto; dan menggoreng lele, tahu-tempe, serta ayam.
Untuk memenuhi nafsu makan pelanggan, Badri menghabiskan 25 ekor ayam dan 12 kilogram lele semalam. Omzetnya mencapai Rp 3 juta sehari. Soal keuntungan bersih, ia tidak mau buka suara. Tapi, lebih dari cukup untuk hidup.
Di sepanjang ruas jalan itu, tidak hanya Badri yang jualan soto dan pecel lele. Kalau ditesuluri dari depan Pasar Palmerah hingga pertigaan Pasar Kebayoran Lama, Jalan Permata Hijau, yang berjarak sekitar 3 kilometer, ada 20-an warung pecel lele dan soto. Artinya, setiap 150 meter, ada satu warung pecel dan soto lamongan yang bersaing dengan warung padang dan warung tegal yang juga ekspansif.
”Di Palmerah kebanyakan orang Siman yang jualan soto dan pecel lele,” ujar Badri menyebut sebuah desa di Lamongan yang penduduknya banyak merantau untuk jualan soto dan pecel lele. Badri sendiri berasal dari Kecamatan Sudio.
Ruas Jalan Palmerah Barat-Permata Hijau hanya salah satu lokasi di mana warung soto dan pecel lele lamongan tumbuh subur. Kalau diperhatikan lebih saksama, hampir tidak ada trotoar atau pinggir jalan di Jakarta—kecuali di jalan protokol seperti Jalan Sudirman, MH Thamrin, Medan Merdeka, Jenderal Gatot Subroto—yang bebas dari warung lamongan.
Rebutan trotoar dan lokasi strategis tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di Surabaya. Ainur Rofiq (32) mengatakan, kalau tidak punya uang, jangan harap bisa menduduki trotoar di Surabaya yang telah dikavling ”penguasa” setempat. ”Kita harus bayar jutaan rupiah, bahkan ada yang minta Rp 20 juta,” kata warga Laren itu.
Ainur tidak sudi membayar ”uang preman” sebesar itu. Ia memilih berkelana mencari trotoar strategis di Biak, Papua, yang baginya ketika itu seperti negeri antah berantah. Kenekatannya merantau ke Biak memberikan hasil. Ia bisa mendirikan warung soto dan pecel lele yang memberi keuntungan bersih Rp 400.000-Rp 800.000 per hari.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.