Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lamongan Menyerbu Indonesia

Kompas.com - 17/02/2014, 16:08 WIB

DARI desa-desa nan gersang di Lamongan, Jawa Timur, ribuan orang menyerbu kota besar dari Jakarta hingga Jayapura dengan satu tujuan: membuka warung soto dan pecel lele. Dan, nasib mereka pun berubah.

Tepat di atas trotoar Jalan Palmerah Barat, Jakarta Barat, Badri berjualan pecel lele dan soto ayam. Warung tendanya hanya beberapa jengkal dari badan jalan yang padat dan bising oleh deru dan klakson kendaraan bermotor. ”Saya sudah 30 tahun jualan di sini Mas,” ujar Badri di sela-sela kesibukannya melayani pembeli.

Ketika senja merambat pelan, aktivitasnya di warung tenda itu kian cepat. Pembeli datang silih berganti memesan soto ayam, pecel ayam, atau pecel lele. Sebagian di antara mereka adalah karyawan kantor dan pengunjung Pasar Palmerah yang berjarak hanya sepelemparan batu dari warung itu. Badri dan dua pelayannya pun nyaris tiada henti meracik sambal pecel; soto; dan menggoreng lele, tahu-tempe, serta ayam.

Untuk memenuhi nafsu makan pelanggan, Badri menghabiskan 25 ekor ayam dan 12 kilogram lele semalam. Omzetnya mencapai Rp 3 juta sehari. Soal keuntungan bersih, ia tidak mau buka suara. Tapi, lebih dari cukup untuk hidup.

Di sepanjang ruas jalan itu, tidak hanya Badri yang jualan soto dan pecel lele. Kalau ditesuluri dari depan Pasar Palmerah hingga pertigaan Pasar Kebayoran Lama, Jalan Permata Hijau, yang berjarak sekitar 3 kilometer, ada 20-an warung pecel lele dan soto. Artinya, setiap 150 meter, ada satu warung pecel dan soto lamongan yang bersaing dengan warung padang dan warung tegal yang juga ekspansif.

”Di Palmerah kebanyakan orang Siman yang jualan soto dan pecel lele,” ujar Badri menyebut sebuah desa di Lamongan yang penduduknya banyak merantau untuk jualan soto dan pecel lele. Badri sendiri berasal dari Kecamatan Sudio.

Ruas Jalan Palmerah Barat-Permata Hijau hanya salah satu lokasi di mana warung soto dan pecel lele lamongan tumbuh subur. Kalau diperhatikan lebih saksama, hampir tidak ada trotoar atau pinggir jalan di Jakarta—kecuali di jalan protokol seperti Jalan Sudirman, MH Thamrin, Medan Merdeka, Jenderal Gatot Subroto—yang bebas dari warung lamongan.

Ya, persaingan untuk mendapatkan trotoar di lokasi strategis kian tajam lantaran makin banyak orang Lamongan yang datang ke Jakarta untuk berdagang soto dan pecel. ”Sekarang yang kami incar halaman rumah di depan jalan. Kami berani sewa Rp 300.000 per bulan,” ujar Badri.

Rebutan trotoar dan lokasi strategis tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di Surabaya. Ainur Rofiq (32) mengatakan, kalau tidak punya uang, jangan harap bisa menduduki trotoar di Surabaya yang telah dikavling ”penguasa” setempat. ”Kita harus bayar jutaan rupiah, bahkan ada yang minta Rp 20 juta,” kata warga Laren itu.

Ainur tidak sudi membayar ”uang preman” sebesar itu. Ia memilih berkelana mencari trotoar strategis di Biak, Papua, yang baginya ketika itu seperti negeri antah berantah. Kenekatannya merantau ke Biak memberikan hasil. Ia bisa mendirikan warung soto dan pecel lele yang memberi keuntungan bersih Rp 400.000-Rp 800.000 per hari.

Gelombang pecel

Bagaimana warung soto dan pecel lele lamongan menyebar dari Lamongan hingga Papua? Ketua Forum Silaturahmi Putra Lamongan Soen’an Hadi Poernomo menjelaskan, antusiasme orang Lamongan yang tinggi untuk merantau bermula karena kondisi alam Lamongan tergolong keras di hampir semua penjuru. ”Saking kerasnya sampai muncul istilah, ’yen ketigo gak iso cewok, yen rendeng gak iso ndodok (kalau musim kemarau tidak bisa berbilas, kalau musim hujan tidak bisa jongkok karena kebanjiran).”

Orang Lamongan, lanjut Soen’an, mulai berbondong-bondong merantau ke Jakarta setelah peristiwa Gerakan 30 September. ”Banyak orang pergi karena di desa tidak aman. Tujuan utamanya ketika itu Jakarta. Setelah tinggal beberapa tahun sebagian perantau, membuka warung soto surabaya. Dulu belum pakai nama Lamongan karena masih minder,” kata Soen’an, ahli perikanan asal Desa Siman.

Gelombang besar perantau Lamongan berikutnya terjadi tahun 1970-an dan 1980-an. Tahun 1970-an, kata Soen’an, sudah ada beberapa pedagang Lamongan yang dianggap berhasil. Mereka kemudian menarik orang-orang sedesa untuk membuka warung lamongan di Jakarta.

Ahmad Junaedi, asal Plososetro, termasuk generasi pedagang Lamongan yang datang pada periode 1980-an. Bersama istrinya yang telah magang tiga tahun di warung soto milik orang lain, ia membuka warung di kawasan Bongkaran. Hanya dua bulan di situ, ia pindah ke Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Setahun kemudian, ia ”berjodoh” di depan Kampus IISIP, Lenteng Agung. Kini, ia punya tiga lapak yang dua di antaranya dijalankan anak muda Lamongan yang sedang magang jualan. ”Awalnya semua warung lamongan jualan soto. Baru awal tahun 1990-an, kami menyediakan menu pecel lele,” kata Junaedi.

Serbuan perantau Lamongan memuncak setelah krisis multidimensi tahun 1998. Ketika itu, kata Soen’an, orang desa berbondong-bondong mencari peruntungan di kota-kota besar. Di Jakarta, mereka menyasar daerah Kebon Sirih, Pasar Minggu, Grogol, Cempaka Putih, dan Kabayoran Lama. Mereka membentuk perkampungan dan komunitas seperti Arek Lamongan Jaya dan Putra Asli Lamongan.

Ekspansi

Salah satu perkampungan arek Lamongan di Jakarta yang cukup besar ada di sekitar Pasar Kebayoran Lama, tepatnya di RT 011 RW 001, Kelurahan Cipulir, Kebayoran Lama. ”Di sini 99,9 persen dari 400-an warga berasal dari Lamongan,” ujar Mat Lai, sesepuh kampung yang tinggal di sana sejak 1980-an. Dia menceritakan, awalnya kampung itu berupa kebun dengan sedikit rumah.

Orang Lamongan kemudian datang bergelombang dari tahun 1980-an. Mereka menyewa atau membeli tanah di daerah itu. Tahun 2000-an, lanjut Mat Lai, kampung itu padat oleh pendatang Lamongan. Umumnya mereka berprofesi sebagai pemasok ayam potong yang sebagian pelanggannya pemilik warung lamongan. Mat Lai mengatakan, dari 25.000 ayam yang dipotong sehari, 3.000 di antaranya dipasok ke warung lamongan. Jaringan bisnis antarpedagang Lamongan memang telah terbentuk lewat perantara paguyuban dan koperasi.

Namun, Jakarta bukan lagi satu-satunya tanah rantau yang menjanjikan. Soen’an menambahkan, generasi arek Lamongan yang lebih muda menyasar tanah rantau yang lebih jauh. Hasil kajian sederhana Forum Silaturahmi Putra Lamongan memperlihatkan, tanah rantau yang diincar selain Jakarta adalah Kalimantan, Bandung, Surabaya, Yogyakarta (40,9%); Bali, Bangka Belitung, Jawa Barat, Riau, Sidoarjo, dan Tangerang (9,1%); lain-lain 4,6%.

Biasanya, pedagang dari desa tertentu menyasar wilayah tertentu pula. Kepala Desa Patihan Hadi Kuswanto yang pernah jualan pecel lele di Barabai, Kalsel, mengatakan, sebagian warga Jabung, Kecamatan Laren, biasanya memilih wilayah Ternate dan Maluku, warga Mindu, Kecamatan Kedungpring, kebanyakan jualan di Timika dan Papua, warga Maduran memilih jualan di Makassar, Sulawesi Selatan, sedangkan warga Siman, Kecamatan Sekaran, menguasai Jabodetabek.

Sejauh ini, tidak ada data pasti berapa jumlah arek Lamongan yang jualan soto dan pecel lele di penjuru Nusantara. Soen’an hanya bisa memperkirakan angkanya puluhan ribu. ”Setiap halalbihalal, warga Lamongan di Jakarta saja yang datang 3.000-an orang, sebagian besar pedagang soto dan pecel lele. Itu yang bisa kita kontak. Yang lain banyak sekali.”

Di mana mereka sekarang? Mungkin sedang sibuk mencari trotoar dan tanah kosong untuk lokasi jualan. (Budi Suwarna, Indira Permanasari, Adi Sucipto Kisswara)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Sumber hhhhhhhhhh
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Wahana dan Kolam Renang di Kampoeng Kaliboto Waterboom Karanganyar

Wahana dan Kolam Renang di Kampoeng Kaliboto Waterboom Karanganyar

Jalan Jalan
Gunung Ruang Meletus, AirAsia Batalkan Penerbangan ke Kota Kinabalu

Gunung Ruang Meletus, AirAsia Batalkan Penerbangan ke Kota Kinabalu

Travel Update
Kampoeng Kaliboto Waterboom: Daya Tarik, Harga Tiket, dan Jam Buka

Kampoeng Kaliboto Waterboom: Daya Tarik, Harga Tiket, dan Jam Buka

Jalan Jalan
Aktivitas Wisata di The Nice Garden Serpong

Aktivitas Wisata di The Nice Garden Serpong

Jalan Jalan
Delegasi Dialog Tingkat Tinggi dari China Akan Berwisata ke Pulau Padar Labuan Bajo

Delegasi Dialog Tingkat Tinggi dari China Akan Berwisata ke Pulau Padar Labuan Bajo

Travel Update
The Nice Garden Serpong: Tiket Masuk, Jam Buka, dan Lokasi

The Nice Garden Serpong: Tiket Masuk, Jam Buka, dan Lokasi

Jalan Jalan
Cara ke Sukabumi dari Bandung Naik Kendaraan Umum dan Travel

Cara ke Sukabumi dari Bandung Naik Kendaraan Umum dan Travel

Travel Tips
Pengembangan Bakauheni Harbour City di Lampung, Tempat Wisata Dekat Pelabuhan

Pengembangan Bakauheni Harbour City di Lampung, Tempat Wisata Dekat Pelabuhan

Travel Update
Asita Run 2024 Digelar di Bali Pekan Ini, Terbuka untuk Turis Asing

Asita Run 2024 Digelar di Bali Pekan Ini, Terbuka untuk Turis Asing

Travel Update
13 Telur Komodo Menetas di Pulau Rinca TN Komodo pada Awal 2024

13 Telur Komodo Menetas di Pulau Rinca TN Komodo pada Awal 2024

Travel Update
Tanggapan Kemenparekraf soal Jam Kerja 'Overtime' Sopir Bus Pariwisata

Tanggapan Kemenparekraf soal Jam Kerja "Overtime" Sopir Bus Pariwisata

Travel Update
Tip Jalan-jalan Jenius ke Luar Negeri, Tukar Mata Uang Asing 24/7 Langsung dari Aplikasi

Tip Jalan-jalan Jenius ke Luar Negeri, Tukar Mata Uang Asing 24/7 Langsung dari Aplikasi

BrandzView
Vietnam dan China Siap Bangun Jalur Kereta Cepat Sebelum 2030

Vietnam dan China Siap Bangun Jalur Kereta Cepat Sebelum 2030

Travel Update
Libur Lebaran, Tren Kunjungan Wisatawan di Labuan Bajo Meningkat

Libur Lebaran, Tren Kunjungan Wisatawan di Labuan Bajo Meningkat

Travel Update
ASDP Catat Perbedaan Tren Mudik dan Arus Balik Lebaran 2024 Merak-Bakauheni

ASDP Catat Perbedaan Tren Mudik dan Arus Balik Lebaran 2024 Merak-Bakauheni

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com