Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baneson, Melestarikan Tarian Dayak di Perbatasan

Kompas.com - 21/02/2014, 17:11 WIB

Ada juga tari Tambun Jua yang menceritakan asal-usul masyarakat Dayak Kalimantan. Mereka konon berasal dari daerah Tambun Jua, sebuah tempat di Balai Karangan, Kabupaten Sanggau.

Namun, karena masyarakat Dayak kala itu tidak semuanya betah tinggal di tempat tersebut, mereka pun kemudian pergi terpencar-pencar. Ada sebagian yang tinggal di Kalimantan Tengah, bermukim di Kalimantan Selatan, juga menetap di Kalimantan Timur dan di Kalimantan Utara.

Pertunjukan

Para penari dari Sanggar Daeng Kumang sudah tampil dalam berbagai kesempatan meski masih dalam lingkup lokal. Mereka kerap diminta tampil antara lain untuk menyambut para tamu ke daerah tersebut. Di samping itu, mereka juga tampil dalam pesta seni Dayak di ibu kota Kabupaten Sanggau.

Baneson berharap siswa yang ikut berlatih di sanggarnya tidak hanya bisa tampil pada pentas-pentas lokal. Dia ingin mereka pun dapat turut ambil bagian dalam pentas nasional, bahkan internasional.

”Dulu, saya pernah mendengar pemerintah pusat akan mengadakan acara kesenian perbatasan. Kami sangat berharap acara itu bisa diwujudkan. Ini penting untuk menambah semangat anak-anak dalam melestarikan kesenian di perbatasan,” kata Baneson.

Bagaimanapun dia juga bersyukur, keberadaan Sanggar Daeng Kumang telah mendapat dukungan dari beberapa pihak. Badan Nasional Pengelola Perbatasan dan Pemerintah Kabupaten Sanggau, misalnya, memberikan bantuan berupa alat-alat musik seperti gong, beduk, dan sape’k.

Selain itu, mereka juga mendapatkan baju-baju adat Dayak untuk pertunjukan. ”Sekarang sanggar kami sudah memiliki lima set pakaian tari,” kata Baneson.

Tantangan

Dalam menjaga keberlangsungan Sanggar Daeng Kumang, Baneson menghadapi berbagai tantangan, khususnya loyalitas siswa. Seiring berjalannya waktu, godaan bagi siswa untuk bolos berlatih menari kian tinggi. Sinetron di televisi pun memengaruhi konsentrasi siswa.

Selain itu, Sanggar Daeng Kumang juga belum memiliki tempat latihan yang memadai. Selama ini mereka berlatih di ruangnya yang berukuran sekitar 5 meter x 6 meter, di samping Pastoran Entikong.

Baneson berharap Entikong memiliki rumah panjang atau betang untuk tempat siswa berlatih tari. Keberadaan rumah betang juga diperlukan sebagai simbol kembalinya karakter masyarakat Dayak yang bisa dikatakan hilang seiring hancurnya rumah betang di daerah ini.

”Saya berharap ada kebijaksanaan pemerintah untuk membangun rumah betang di Entikong,” katanya.

Keberadaan rumah betang, selain untuk tempat latihan menari, menurut Baneson, bisa sekaligus menjadi pusat aktivitas para perajin khas Dayak seperti kain tenun. ”Ini (rumah betang) harus diperjuangkan karena banyak manfaatnya.”

Baneson juga berusaha agar seni tari Dayak bisa masuk kurikulum pembelajaran di sekolah. Namun, di sisi lain dia pun menyadari, untuk mewujudkannya perlu jalan panjang sebab sebagian masyarakat Dayak belum menyadari pentingnya melestarikan budaya sendiri. (EMANUEL EDI SAPUTRA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com