Sanggar Daeng Kumang menjadi wadah bagi para siswa, mulai siswa sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, untuk belajar berbagai tarian Dayak di perbatasan, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Tahun 1999 ketika pertama kali bertugas sebagai guru Sekolah Dasar Negeri 03 Sontas, Entikong, yang berbatasan langsung dengan Malaysia, Baneson sudah melihat ancaman hilangnya kebudayaan lokal, khususnya tarian Dayak, di perbatasan itu. Masyarakat Dayak, terutama yang tinggal di perbatasan pun sudah banyak yang tidak tahu budaya mereka sendiri.
Hal itu terjadi akibat arus globalisasi yang semakin kuat. Kaum muda yang akan menjadi ahli waris kebudayaan setempat tak bisa diharapkan lagi karena mereka sudah sibuk dengan hiruk-pikuk kehidupan masa kini.
Baneson jarang sekali melihat anak muda yang bisa memainkan alat musik tradisional Dayak, seperti sape’k (semacam gitar). Kaum muda di sini lebih sibuk dengan telepon seluler dan gadget yang berganti-ganti dengan cepat.
Padahal, menurut Baneson, semakin berpendidikan seseorang, seharusnya dia pun memiliki kecintaan terhadap kebudayaannya sendiri. Dengan demikian, ada keinginan untuk melestarikan kebudayaan itu dalam bentuk apa pun, baik keinginan untuk mempelajari, mempraktikkan, maupun mendirikan suatu institusi sebagai wadah belajar.
Dia sendiri memiliki keinginan untuk mendirikan sanggar tari sejak tahun 1999. Namun, berbagai keterbatasan membuat Baneson belum mampu mewujudkan keinginan tersebut. Apalagi di sekitar tempat tinggalnya tak banyak orang yang memiliki keinginan sama seperti dia. Bagi sebagian warga, keinginan Baneson itu bukan hal yang populer.
Seadanya
Tahun demi tahun berganti, tetapi tidak ada satu orang pun yang mau mendirikan wadah untuk melestarikan tarian Dayak di perbatasan. Jadilah tahun 2008 Baneson mendirikan Sanggar Daeng Kumang dengan bantuan dan dukungan rekan-rekannya.
”Puji Tuhan, harapan itu akhirnya bisa terwujud meskipun ketika itu kami hanya memiliki peralatan seadanya,” tuturnya.
Sayang, menurut Baneson, perkembangan Sanggar Daeng Kumang bisa dikatakan tidak secepat seperti yang dia harapkan. Salah satu penyebabnya kurangnya perhatian pemerintah pada pelestarian budaya Dayak, terutama di daerah perbatasan.
”Padahal, justru di daerah perbatasan itu yang rawan terhadap klaim dari negara tetangga,” kata Baneson.
Sekarang Sanggar Daeng Kumang memiliki sekitar 30 peserta didik yang merupakan siswa dan siswi dari sejumlah SD, SMP, dan SMA di Kecamatan Entikong. Dalam seminggu mereka berlatih tari-tarian Dayak dua hingga tiga kali.
Misalnya, tari Dayung Benang yang berkisah tentang pernikahan pada masyarakat di perbatasan. Dulu, pernikahan itu tidak mengenal batas antardua negara, tetapi kemudian pernikahan itu menjadi pernikahan campur antara warga Indonesia dan Malaysia.
Ada juga tari Tambun Jua yang menceritakan asal-usul masyarakat Dayak Kalimantan. Mereka konon berasal dari daerah Tambun Jua, sebuah tempat di Balai Karangan, Kabupaten Sanggau.
Namun, karena masyarakat Dayak kala itu tidak semuanya betah tinggal di tempat tersebut, mereka pun kemudian pergi terpencar-pencar. Ada sebagian yang tinggal di Kalimantan Tengah, bermukim di Kalimantan Selatan, juga menetap di Kalimantan Timur dan di Kalimantan Utara.
Pertunjukan
Para penari dari Sanggar Daeng Kumang sudah tampil dalam berbagai kesempatan meski masih dalam lingkup lokal. Mereka kerap diminta tampil antara lain untuk menyambut para tamu ke daerah tersebut. Di samping itu, mereka juga tampil dalam pesta seni Dayak di ibu kota Kabupaten Sanggau.
Baneson berharap siswa yang ikut berlatih di sanggarnya tidak hanya bisa tampil pada pentas-pentas lokal. Dia ingin mereka pun dapat turut ambil bagian dalam pentas nasional, bahkan internasional.
”Dulu, saya pernah mendengar pemerintah pusat akan mengadakan acara kesenian perbatasan. Kami sangat berharap acara itu bisa diwujudkan. Ini penting untuk menambah semangat anak-anak dalam melestarikan kesenian di perbatasan,” kata Baneson.
Bagaimanapun dia juga bersyukur, keberadaan Sanggar Daeng Kumang telah mendapat dukungan dari beberapa pihak. Badan Nasional Pengelola Perbatasan dan Pemerintah Kabupaten Sanggau, misalnya, memberikan bantuan berupa alat-alat musik seperti gong, beduk, dan sape’k.
Selain itu, mereka juga mendapatkan baju-baju adat Dayak untuk pertunjukan. ”Sekarang sanggar kami sudah memiliki lima set pakaian tari,” kata Baneson.
Tantangan
Dalam menjaga keberlangsungan Sanggar Daeng Kumang, Baneson menghadapi berbagai tantangan, khususnya loyalitas siswa. Seiring berjalannya waktu, godaan bagi siswa untuk bolos berlatih menari kian tinggi. Sinetron di televisi pun memengaruhi konsentrasi siswa.
Selain itu, Sanggar Daeng Kumang juga belum memiliki tempat latihan yang memadai. Selama ini mereka berlatih di ruangnya yang berukuran sekitar 5 meter x 6 meter, di samping Pastoran Entikong.
”Saya berharap ada kebijaksanaan pemerintah untuk membangun rumah betang di Entikong,” katanya.
Keberadaan rumah betang, selain untuk tempat latihan menari, menurut Baneson, bisa sekaligus menjadi pusat aktivitas para perajin khas Dayak seperti kain tenun. ”Ini (rumah betang) harus diperjuangkan karena banyak manfaatnya.”
Baneson juga berusaha agar seni tari Dayak bisa masuk kurikulum pembelajaran di sekolah. Namun, di sisi lain dia pun menyadari, untuk mewujudkannya perlu jalan panjang sebab sebagian masyarakat Dayak belum menyadari pentingnya melestarikan budaya sendiri. (EMANUEL EDI SAPUTRA)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.