Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kecil-kecil, tapi Berisi...

Kompas.com - 24/02/2014, 14:32 WIB
LEWAT tantangan berkarya dalam ukuran sama, 139 perupa lintas generasi, mulai 23 tahun hingga 83 tahun, berpameran bersama. Itulah suguhan Isi Isi, pameran 290 karya dari perupa lintas zaman dalam beragam ungkapan ekspresi, langgam, dan dimensi.

Begitu memasuki ruang pamer Galeri Kemang 58, sensasi yang terasakan adalah memasuki instalasi raksasa kolase 290 karya rupa yang berderet di dinding lantai 1 dan 2 ruang pamer itu. Ratusan kanvas bujur sangkar tampak seperti deretan foto-foto bujur sangkar Instagram, layanan sosial media khusus foto yang diakses dari layar telepon genggam atau gadget.

Semua rupa tersuguhkan dalam ukuran yang sama, berdimensi bujur sangkar. Semuanya dipasang dengan jarak serupa antara satu dan lainnya, tapi fotonya (kali ini kanvasnya) bercampuran tema, obyek, warna, dan nuansa.

Tak berlebih kalau menyebut penataan 290 karya itu telah menjadi karya tersendiri dalam pameran Isi Isi yang berlangsung 19 Februari-16 Maret 2014. Sebuah instalasi karya rupa yang berhasil memberi irama untuk menyimak karya demi karya dan merasakan sentuhan personal dari setiap perupa.

Sejarah proses kreatif dan kenangan akan Yogyakarta, Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta dan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta menjadi benang merah dan menjelaskan judul pameran Isi Isi itu. Beberapa perupa yang lepas dari benang merah serba Yogyakarta itu menambah kaya warna pameran ini.

Umur tak menipu

Dipatok berkarya dalam ukuran 35 cm x 35 cm, para perupa menghadirkan kemungkinan tak berbatas: lukisan potret diri, benda dan keseharian yang dilukis dalam gaya realis, rupa abstrak, ada pula rupa surealis, bahkan karya rupa tiga dimensi. Ungkapan ”umur tidak menipu” terasakan sebagai kekuatan dan pesona pameran lintas generasi itu.

Perupa paling sepuh, Soetopo asal Yogyakarta yang berusia 83, lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta angkatan 1950, menghadirkan tiga lukisan suasana kehidupan sehari-hari. Tiga lukisannya, dua di antaranya ”Petan” dan ”Kerokan”, digarap dengan warna dan nuansa khas pelukis ”tempo doeloe”.

Lebih-lebih lagi lukisan ”Pasar Burung”—yang melukiskan para pedagang dan pengunjung berlurik, berkain sarung, beberapa berikat kepala, saling berbincang burung dalam kandang burung ”tempo doeloe”. Pasar burung barangkali salah satu obyek yang paling banyak dilukis perupa didikan ASRI dan ISI Yogyakarta, yang hampir semuanya pernah mencicipi suasana pagi Ngasem, sebuah pasar burung di Yogyakarta, yang kini telah direlokasi ke Dongkelan.

Bentuk ekspresi yang sama sekali berbeda hadir dalam dua karya perupa termuda, Rato Tanggela. Dua karya itu, ”Bye Good Night” dan ”Hello Good Morning”, menghadirkan kekhasan rupa yang sangat kontemporer, muda, dan kini. Lintas generasi para perupa senyatanya menghadirkan lintas bentuk ekspresi.

Di antara karya kedua perupa, hadir beratus karya lain dengan beragam siasat merespons pakem 35 cm x 35 cm dengan khas. Perupa dari ASRI, Joko Pekik, tetap menghadirkan ”keriuhan massa” lewat lukisan ”Sejuta Anak Ayam”. Perupa ASRI lainnya, Aming Prayitno, menghadirkan ”Doble T” dan ”Triple Circle”.

Patokan dimensi 35 cm x 35 cm tak menghalangi perupa AT Sitompul (ISI Yogyakarta angkatan 2000) menghadirkan kanvas berlapis carvet dan cat akrilik merah dalam serial ”Kebaikan”, ”Kebenaran”, serta ”Kebaikan Menjaga Kebenaran” yang memadu bentuk-bentuk simetris dari dua karya pertama.

Sujono (ISI Yogyakarta angkatan 1986) malah menghadirkan ”lukisan” tiga dimensi ”Mbeler”, mempertahankan ukuran lebar dan tinggi 35 cm x 35 cm yang membingkai sebentuk telinga berbahan fiberglass yang molor dijewer. Karya tiga dimensi yang tertib pakem juga dihadirkan Kamroden Haro lewat ”Kamroden Family” yang berbahan kuningan dan besi. Semuanya hadir dengan kekhasan gelombang besar ekspresi rupa dari berbagai masanya, dengan sentuhan personal dari setiap perupa.

Dalam pameran tanpa kurator itu, dosen ISI Yogyakarta, Suwarno Wisetrotomo, memberikan catatan pengantar pameran berjudul ”Isen-isen” yang mengulas keguyuban para perupa lintas generasi. Juga keliaran mereka merespons patokan ukuran karya 35 cm x 35 cm.

Suwarno membenarkan ukuran karya yang mungil membuatnya ”cair”, mudah ditenteng dan diperjualbelikan banyak kolektor yang setelah krisis ekonomi global cenderung berhati-hati berbelanja karya. ”Karya kecil seperti ini memang ramah terhadap pasar, tetapi sebagian besar perupa justru membuktikan proses berkarya mereka lepas dari kecenderungan mengikuti selera pasar. Mereka justru menghadirkan kemungkinan tak berbatas dari 35 cm x 35 cm,” ujar Suwarno.

Isen-isen, yang dalam batik dikenal sebagai motif pengisi motif utama, dipilih Suwarno untuk menggambarkan pameran Isi Isi. ”Proses pameran ini memaksa perupa melepaskan rutinitas berkaryanya, memberi jeda, dan interupsi dari siklus berkarya masing-masing. Dalam proses kreatif yang panjang, jeda itu perlu,” kata Suwarno. (Aryo Wisanggeni G)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com