Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Legenda Kemaro Merajut Harmoni...

Kompas.com - 25/02/2014, 16:23 WIB
KISAH cinta Tan Bun An dan Siti Fatimah yang berakhir tragis di Sungai Musi menjadi abadi dalam legenda Pulau Kemaro. Legenda ini menjadi gambaran kentalnya hubungan antara kelompok etnis Tionghoa dan warga lokal di Palembang sejak lama.

Alkisah, Tan Bun An terjun ke Sungai Musi untuk mengejar guci berisi emas hadiah perkawinan dari keluarganya di Tiongkok. Awalnya guci itu dibuang karena disangka hanya berisi sawi asin. Beberapa lama Siti Fatimah menanti di kapal bersama pengawalnya, tetapi kekasihnya tidak muncul.

Pengawalnya yang menyusul terjun pun tak tampak lagi. Dirundung resah, Siti Fatimah, putri Palembang itu, menyusul terjun ke Sungai Musi. Mereka tak pernah terlihat lagi.

Beberapa saat kemudian, dari tempat sejoli itu terjun ke Sungai Musi muncul gundukan tanah serupa pulau kecil. Pulau ini membesar dan tak tenggelam saat Musi pasang sekalipun. Masyarakat lalu menamainya Pulau Kemaro (Kemarau), sebab selalu jauh dari jangkauan pasang Musi.

Inilah legenda asal mula pulau seluas sekitar 180 hektar, sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Palembang. Kisah itu kini terukir dalam sebuah batu prasasti di kompleks Kelenteng Hok Cing Bio yang menjadi daya tarik wisata di pulau itu.

Di pulau itu pula, kisah Tan Bun An dan Siti Fatimah dipentaskan kelompok seni wayang orang Tionghoa Sumatera Selatan (So Lam Ko Kek Sia) pada perayaan Cap Go Meh yang berlangsung siang dan malam pada 12-13 Februari lalu. Lakon berjudul ”Sembilan Guci Emas” itu dibawakan dalam bahasa Indonesia dan Mandarin berdialek Hok Kian halus.

KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM Ribuan umat Tridharma dan wisatawan hingga Kamis (13/2/2014) lalu masih memadati perayaan Cap Go Meh di Pulau Kemaro, Palembang, Sumatera Selatan. Perayaan yang berlangsung dua hari semalam ini diharapkan menjadi ajang mempererat hubungan warga Tionghoa dan warga etnis lain.
Ini adalah kali pertama wayang orang Tionghoa dibawakan dalam bahasa Indonesia pada perayaan Cap Go Meh di Pulau Kemaro. Lakon itu pun termasuk kreasi baru dari lakon yang biasa diambil dari cerita rakyat China. Pementasan ini seolah semakin menguatkan betapa legenda itu tak sekadar menjadi dongeng menarik, tetapi juga media yang mengeratkan hubungan antaretnis di ibu kota Sumsel itu.

Pengurus Kelompok So Lam Ko Kek Sia, Kha Chun Kim (45), mengatakan, lakon ”Sembilan Guci Emas” dalam bahasa Indonesia dimaksudkan agar pengunjung yang tak bisa berbahasa Mandarin pun bisa menikmati pertunjukan itu. Lewat pementasan ini pula, warga Tionghoa itu ingin menyampaikan pesan bahwa mereka juga orang Indonesia.

”Ini juga menguatkan kebersamaan. Lewat pentas wayang orang ini, Cap Go Meh di Pulau Kemaro bukan eksklusif untuk orang China saja,” kata dia.

Pagoda dan Cap Go Meh

Pulau Kemaro terletak di bagian timur Kota Palembang, menyembul di antara kompleks industri dan pelabuhan Palembang. Belum ada fasilitas wisata di sana. Akses darat pun belum tersedia.

Di luar masa perayaan Cap Go Meh, pulau itu hanya bisa dicapai dengan perahu melalui Sungai Musi. Penyewaan perahu ke pulau ini tersedia dari Jembatan Ampera dengan tarif sekitar Rp 300.000 pergi pulang atau dari dermaga Kalidoni yang hanya berjarak sekitar 500 meter dari Pulau Kemaro.

Dari kejauhan pulau ini terlihat anggun dengan pagoda merah yang kontras dari cerobong pabrik raksasa, tumpukan peti kemas, dan kapal industri di sekitarnya. Pagoda itu dibangun dengan kerja sama Pemerintah Kota Palembang tahun 2006.

KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM Kelenteng Hok Cing Bio di Pulau Kemaro, Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (24/1/2014), yang mulai berhias menyambut Cap Go Meh. Pulau di tengah Sungai Musi ini menjadi tujuan ratusan ribu orang dari sejumlah daerah setiap perayaan Cap Go Meh atau bulan purnama pertama setelah Imlek.
Di pulau itu terdapat kompleks kelenteng tua Hok Cing Bio yang dilengkapi pagoda sembilan lantai. Selama puluhan tahun, kelenteng itu menjadi tujuan ribuan umat Tridharma bersembahyang Cap Go Meh.

Di luar perayaan Cap Go Meh, kompleks kelenteng Hok Cing itu menawarkan kesunyian dan keteduhan dari pepohonan besar yang banyak di sana. Hanya satu-dua orang berkunjung untuk bersembahyang di kelenteng atau sekadar berjalan-jalan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com