Kabupaten Buleleng dengan Ibu Kota Singaraja ini bukan saja menyimpan budaya lokal yang tertanam dari seorang Raja Buleleng yang bernama I Gusti Putu Jelantik di masa Hindia Belanda. Melalui sebuah museum, berbagai cerita dan sejarah tersimpan dalam kenangan masa lampu.
Salah satunya Museum Gedong Kirtya, yang menyimpan warisan leluhur secara turun temurun di Bali. Naskah–naskah dalam bentuk lontar atau Pustaka Lontar tersimpan baik di gedung ini. Pembuktian ini, dapat disaksikan dalam bentuk lontar kuno.
Dari luar akan nampak bangunan arsitektur kuno. Sekilas, seperti bangunan tak berpenghuni tanpa adanya unsur kemewahan, nampak sangat sederhana. Padahal, di sini ada ribuan koleksi lontar yang tersimpan rapi dalam kotak yang disebut keropak yang panjangnya sekitar 60 centimeter.
Semua tersusun rapi berdasarkan kelompok atau klasifikasi. Barisan paling atas Lontar Sasak, isinya tentang budaya Sasak. Kemudian Matrastawa (mantra/puja/weda), Niticastra (etik), Wariga (astronomi dan astrologi), Tutur (petuah), Usadha (pengobatan tradisional), Geguritan (kidung), Babad Pamancangah (sejarah), Satua (cerita rakyat). Semua lontar berbahasa Jawa kuno dan Sansekerta. Cuma, dalam Lontar Satua hanya menggunakan bahasa Bali.
Pengunjung bebas melihat semua bentuk lontar. Petugas memberi sambutan kepada setiap pengunjung yang datang, baik lokal maupun domestik. Wisatawan diperlihatkan bentuk lontar dan diceritakan dari isi tersebut yang tertulis dalam bahasa Sansekerta.
"Ini menceritakan tentang Rerajahan, orang yang suka menjaga diri akan menulis beberapa mantram dan gambar, lalu disimpan dalam tubuhnya. Agar mau hidup harus di Pasupati dulu, tidak secara langsung dapat digunakan," ungkap Ni Made Sukeranis, salah satu petugas museum sambil menunjuk salah satu bentuk lontar yang ada di atas meja.
Kebanyakan wisatawan bertanya tentang isi dan tahun pembuatan lontar, karena di sini semua lontar diberi judul menggunakan bahasa Bali. Mereka akan dipertunjukan beberapa contoh yang sering dibaca oleh pengunjung lainnya, seperti tentang Wariga (astronomi dan astrologi) dan Usadha (pengobatan tradisional).
Semua bentuk lontar ini tersimpan di ruang satu. Selain lontar juga ada berbagai macam bentuk buku tua dan kamus tua. “Kebanyakan buku tua ini berbahasa Kawi dan Belanda,“ imbuh Sukeranis.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.