”Sekitar tiga tahun saya bekerja pada bagian pewarna di toko batik. Penghasilan per bulan Rp 2 juta, sedangkan kebutuhan hidup kian bertambah. Saya mengundurkan diri dan mencoba usaha mandiri karena masih sedikit perajin batik di Palangkaraya. Umumnya batik Kalteng dipesan dan dijual di Kalimantan, tapi produksinya di Pekalongan,” kata Anang pada awal Februari 2014 lalu.
Pada tahun 2008, Anang bersama Paramita (24), istrinya, yang juga pernah bekerja di toko batik di Jalan Ahmad Yani, Palangkaraya, merintis usaha produksi batik dengan modal Rp 1,5 juta. ”Ada kenalan pedagang batik yang memberi kepercayaan kepada saya untuk membuat batik. Mereka meminjamkan 13 canting cap, sebuah ender atau wajan, dan 300 meter kain. Dengan upah Rp 17.000 per meter, saya mulai menabung untuk menambah modal,” ucap Anang yang datang ke Kalimantan tahun 2005.
Dari kerja sama sekitar dua tahun, produksi benang bintik Anang mulai dikenal orang. Anang pun memohon izin usaha ke kelurahan dan mendaftarkan usahanya ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Palangkaraya dengan nama usaha Kerajinan Benang Bintik Paramita.
”Sedikit demi sedikit saya bisa membeli canting cap serta menyisihkan uang untuk membeli tanah, juga rumah,” kata Anang yang sejak tahun 2008 mengontrak rumah untuk tempat tinggal dan usaha di Jalan Rajawali 08, Palangkaraya.
Setelah nama usahanya didaftarkan, kesempatan mengikuti pameran dan pelatihan pengembangan usaha mulai berdatangan. Anang mengikuti sejumlah pameran, antara lain Pameran Produk Unggulan Kalteng 2010 di Palangkaraya, Expo Kalteng 2011 di Palangkaraya, dan Pameran Dinas Perindustrian dan Perdagangan di Batam, Kepulauan Riau, tahun 2010. ”Setiap kali pameran, pendapatan mencapai Rp 2 juta hingga Rp 7 juta. Pesanan terus meningkat,” ujarnya.
Sejak tahun 2008 hingga 2010, pemasukannya dalam sebulan berkisar Rp 12 juta hingga Rp 15 juta dengan rata-rata pendapatan bersih Rp 4 juta. Sejak mengikuti pameran tahun 2010, pemasukan Anang setiap bulan lebih dari Rp 20 juta dengan pendapatan bersih di atas Rp 6 juta.
”Memang tidak selalu mendapatkan sebanyak itu, tergantung pada jumlah pesanan yang ada. Dulu per bulan pesanan paling banyak sepanjang 300 meter. Setelah tahun 2010, pesanan kadang mencapai 500 meter hingga 1.000 meter per bulan,” kata ayah dua anak itu.
Kerja sama dengan ayah
Bahan baku, seperti kain dan canting, diperolehnya dari Jawa. Dia terus menjalin kerja sama dengan sang ayah di Pekalongan untuk mendapatkan bahan baku kain. ”Banyak desain khas Kalteng saya peroleh dari para pemesan. Mereka datang dan membawa desain dan motif, lalu saya sedikit modifikasi,” ujar Anang.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.