Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Norma, Benteng Terakhir Makyong Batam

Kompas.com - 17/03/2014, 14:22 WIB

Ia hanya ingat, orang Jerman itu mahasiswa yang belajar dasar gerakan tarian Melayu. Setelah menguasai gerakan dasar dan menari dengan luwes, dia menawari Norma pentas di Jerman.

Tawaran itu disampaikan saat undangan pentas semakin jarang diterima Norma. Kalaupun ada, bayarannya kerap tak cukup untuk menyambung hidup.

”Bapak tidak cari penghasilan dari makyong. Untuk hidup sehari-hari, Bapak cari ikan. Hasil dari pentas mana bisa diandalkan,” ujar Durani, putra sulungnya.

Norma menolak tawaran ke Jerman itu. Ia berat meninggalkan Pulau Panjang, walau hidupnya sebagai seniman makyong tak mudah. ”Saya dari kecil hidup di pulau-pulau,” tuturnya.

Pentas ke Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Pekanbaru, bahkan ke luar negeri pernah dilakoninya bersama Basri. Namun, pentas itu hanya berlangsung beberapa hari dan mereka kembali ke Pulau Panjang. Jika ke Jerman, Norma tak tahu kapan kembali ke Pulau Panjang untuk mengajarkan makyong kepada anak-cucu dan memelihara kenangan masa hidup Basri.

Keputusan Norma menolak tawaran ke Jerman tak mudah. Sebagai seniman, ia jarang tampil karena undangan semakin jarang. Tak ada undangan, berarti tak ada penghasilan. Oleh karena itu, beberapa tahun terakhir ia menjual jagung bakar di kawasan Sagulung, Batam.

Bangga

Meski nyaris tak ada keuntungan material dari aktivitas sebagai seniman makyong, Norma tetap bangga sebagai penggiat kesenian yang makin redup itu. Ia pun menolak menggadaikan pin emas tanda penghargaan sebagai seniman makyong.

Pin itu didapat pada 2011 saat ia menerima Anugerah Batam Madani dari Pemerintah Kota Batam. Pin itu tersimpan di antara lipatan baju-baju lusuhnya. ”Sampai kapan pun tidak akan saya jual. Ini bukti penghargaan untuk makyong.”

Bersama Basri, Norma kerap mendapat penghargaan. Semua itu disimpan Durani dalam koper tua. Kertas-kertas yang sudah dilapisi plastik agar tak rusak karena lembab dan termakan rayap sesekali dikeluarkan. ”Bapak tak mewariskan banyak, piagam-piagam ini sebagian warisannya,” ujar Durani.

Durani juga yang membantu Norma mewariskan makyong kepada remaja di Pulau Panjang. Padahal, ia bertahun-tahun tak menyetujui pilihan ayahnya yang gigih mempertahankan makyong. Durani baru serius belajar menjadi musisi pengiring makyong setelah ayahnya meninggal. ”Tinggal keluarga kami yang bisa mementaskan makyong. Ini warisan Bapak, harus kami jaga.”

Durani tak tahu sampai kapan makyong bertahan. Namun, ia berusaha mendampingi Norma selama masih melatih dan naik pentas makyong. ”Mudah-mudahan sudah banyak yang kami pelajari sebelum Emak menyusul Bapak,” ujar Durani.

Ia patut khawatir. Jika sewaktu-waktu Norma menyusul Basri, Batam akan kehilangan sebagian besar isi teater yang hidup selama beberapa abad di tanah Melayu. (KRIS RAZIANTO MADA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com