Kafe yang belum genap dua tahun beroperasi ini secara mengejutkan mampu menarik ratusan pengunjung saban harinya. Mengejutkan, karena kafe yang letaknya berseberangan dengan Stadion Kridosono ini sebelumnya pernah digunakan untuk berbagai usaha, termasuk kafe, tetapi sepi. Tangan dingin Ferry Fachriansyah (30) yang lalu menghidupkan lokasi itu. Sebanyak 600 orang ke kafenya pada hari kerja dan 1.000-an orang datang pada hari libur, atau sehari sebelum hari libur.
Ferry pula yang membuat kafe Semesta, juga di Kotabaru, yang ia bangun bersama temannya jadi ramai sejak dibuka tahun 2010. Ferry keluar dari Semesta setahun kemudian dan merintis lagi kafe baru, Legend, yang buka 24 jam. Kini, kawasan Kotabaru yang empat tahun lalu masih sepi dan gelap, berubah jadi terang dan riuh.
Kuncinya satu. Ferry mewadahi dan membangun komunitas di kafenya. Ia masih ingat saat pertama kali membuka Legend. Ia menghentikan sekelompok anggota komunitas sepeda pixie yang lewat di depan kafenya. ”Saya cegat, lalu saya ajak masuk kafe saya. Saya traktir semua,” katanya.
Sejak itu, komunitas sepeda pixie sering datang untuk nongkrong. ”Katanya, kan, ibarat bunga sakura, kelihatan rame dulu. Nah, itu buat penarik orang untuk datang,” kata Ferry. Ia lalu meluaskan usaha dengan membuka Legend Premium pada 2013, yang ternyata juga langsung ramai.
Sementara itu, bagi Ivan, pemilik Goeboex Coffee, di Jalan Perumnas Mundu, Mundu, Catur Tunggal, Yogyakarta, gimmick dengan menggratiskan pengunjung tak perlu ia lakukan. Ia meyakini usahanya bakal lancar karena dua hal. Pertama, dibangunnya pusat perbelanjaan Ambarukmo Plaza, yang letaknya tidak jauh dari kafenya. Kedua, banyak anak muda membutuhkan tempat nongkrong.
”Dulu, sebelum tahun 2000, di sini kayak kuburan, orang malas lewat, orang bilang daerahnya gali. Dulu gelap. Setelah dibangun plaza pada tahun 2005, jalan di sini mulai ramai. Kafe saya ini termasuk yang pertama dibangun di daerah sini,” kata Ivan, yang membuka kafe pada 2006.
Keyakinan Ivan terbukti. Kafenya laris, dan bahkan ia akhirnya pindah ke lokasi yang lebih luas pada 2008, yang letaknya tidak jauh dari kafe pertamanya. ”Saya nyewa tempat seluas 1.000 meter persegi, parkir luas, dan banyak ruang kosong untuk acara. Nyatanya, ya, penuh terus,” tutur Ivan, yang kerap menggelar nonton bareng laga sepak bola Liga Inggris atau Piala Champions.
Gaya hidup khas
Oleh karena di Yogyakarta tidak banyak mal seperti di Jakarta, kafe-kafe yang laris manis itu adalah kafe kelas mahasiswa berharga murah, yang dibuka di pinggir-pinggir jalan. Harga secangkir kopi antara Rp 6.000 dan Rp 10.000. Kopi yang berharga Rp 10.000 itu termasuk sudah mahal. Minuman lain juga seharga itu.
Menurut Anas Alimi, warga Yogyakarta, pemilik perusahaan konsultan komunikasi dan EO Rajawali Indonesia Communication, Yogyakarta bisa dibilang ”meniru” Jakarta, tetapi mewujud dalam bentuk yang lain. ”Pergeseran gaya hidup di Jogja ini juga mirip di Jakarta. Bedanya, kafe-kafe di Jogja ini lebih untuk nongkrong kelas mahasiswa dan lokasinya bukan di mal,” ujarnya.
”Kawasan Nologaten dan Mundusari, itu di kanan-kiri jalan sekarang penuh kafe. Kafe-kafe itu terlokalisasi pada 2012, sedangkan di tempat lain kafe terus muncul. Ada yang baru, ada yang lama lalu ganti nama, tetapi ada juga yang mati,” kata Wawan Arif, pemilik akun Twitter @ngopijogja dan portal komunitas ngopijogja.com.
Wawan melihat, kafe yang menjamur lima tahun terakhir ini menjadi sebuah alternatif bagi warga untuk nongkrong, selain angkringan dan tukang bubur kacang hijau. Meski demikian, kafe tidak mematikan angkringan. ”Saya lihat kafe ini bukan sekadar tren, tetapi juga kebutuhan. Ngobrol serius di angkringan dan burjo itu susah, enggak bisa berlama-lama dengan nyaman,” ujar Wawan.
Oleh karena itu, gairah nongkrong dan berkomunitas di kafe ini pun menginspirasi Wawan untuk membuat acara Pekan Ngopi Jogja pada 20-26 Oktober 2013. Acara semacam festival ini digelar di hampir semua kedai kopi di Yogyakarta. Setiap kafe menggelar acara mulai dari pemilihan miss coffee sampai edukasi kopi. Goeboex Coffee bahkan membikin lomba teater SMA.
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito, melihat kopi sebagai sebuah simbol yang mudah menciptakan komunitas. Pemilik kafe mengombinasikan kopi sebagai simbol komunitas dengan memanfaatkan teknologi informasi. ”Kekuatan kafe ini bukan pada kopinya, tetapi tempat nongkrong-nya. Sekarang, ada tren baru. Diskusi buku di kafe menggeser diskusi buku di hotel,” tuturnya.
Contoh paling jelas, ya, di Goeboex Coffee. Hanya 30 persen pengunjung yang memesan kopi. ”Selebihnya nyari minuman manis-manis itu,” kata Ivan.
Penikmat kafe dan penikmat kopi bisa jadi orang yang berbeda. Namun, bisa jadi orang yang sama, yang suka ”ngopi” sekaligus ”ngafe”. (Susi Ivvaty)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.