Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Benny M Tundan, Merangkul Sanggar, Lestarikan Budaya Dayak

Kompas.com - 05/05/2014, 18:11 WIB
MENGAMATI beragamnya potensi seni dan kebudayaan suku Dayak, serta melihat banyaknya sanggar tari di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Benny M Tundan (31) terdorong untuk merangkul 52 sanggar seni dan tari di kawasan tersebut demi melestarikan budaya suku Dayak.

”Kegiatan berkesenian masih dipandang sebelah mata baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Sanggar-sanggar dan pekerja seni bisa dikatakan berjalan sendiri-sendiri, tidak terintegrasi. Padahal, di sini diperlukan sinergi dan kerja sama untuk mengangkat suatu kebudayaan,” kata Benny, yang juga koreografer pergelaran Sendratari Tambun dan Bungai yang dipentaskan pertama kali di Palangkaraya, Jumat (25/4/2014).

Dalam sendratari yang diinisiasi Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Tengah tersebut, Benny mengoordinasi 65 penari dan 20 orang tim musik, dekorasi, properti, dan pencahayaan.

Sendratari Tambun dan Bungai diharapkan menjadi pergelaran wisata yang berkelanjutan dan unggulan di Palangkaraya. Sendratari ini diharapkan bisa seperti Sendratari Ramayana di Candi Prambanan, Yogyakarta.

Penari dan tim kreatif sendratari itu berasal dari kelompok Teater Srikandi Tiung Gunung Balamping Amas, Teater Terapung, Teater Tunas, Sanggar Tari dan Budaya Marajaki, Sanggar Riak Renteng Tingang, Sanggar Betang Batarung, Sanggar Darung Tingang, Sanggar Balanga Tingang, Sanggar Kapakat, Kelompok Soul Break, serta Program Studi Seni Universitas Kristen Palangkaraya.

”Dari 52 sanggar di Palangkaraya, hanya 20 sanggar yang aktif. Semua itu perlu dibina dan diberi pelatihan tentang manajemen praproduksi, produksi, juga promosi. Di sini belum ada art center bagi seniman untuk berdiskusi, konsultasi, dan berkreasi bersama tanpa merasa terkotak-kotak dalam setiap sanggar,” ujar Benny, yang juga Koordinator Sanggar Marajaki.

Ruang tamu berukuran 10 x 8 meter di rumahnya, Jalan G Obos 109, Palangkaraya, dia jadikan tempat berkumpul atau rumah singgah para seniman bertukar gagasan menggarap pertunjukan. Ruang tamu itu juga menjadi tempat berlatih 40 murid Sanggar Marajaki yang umumnya siswa SMA dan mahasiswa.

”Setiap sanggar punya kekhasan. Ada yang membina siswa usia SD dan fokus pada kaderisasi dasar. Ada juga yang fokus pada mode dan tata busana adat Dayak. Jika ada pertunjukan besar, kami mengajak mereka semua, sesuai kelebihan masing-masing,” ujar Benny, yang juga mengajar seni dan budaya di Program Studi Seni Universitas Kristen Palangkaraya.

Dari ayah

Minat dan kecintaan Benny pada kesenian dan budaya Dayak berawal dari keluarga, terutama ayahnya, Musi Tundan. Sang ayah berasal dari Kabupaten Murung Raya dan selalu tampil menari Tantulo dalam setiap pertemuan keluarga besar.

”Ayah membawakan tari Tantulo sebagai kekhasan suku Dayak Siang. Tari itu menyimbolkan ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan ditarikan dengan jari telunjuk mengarah ke atas,” ujar suami Susie Sriwahyuni ini.

Sembari melihat dan mengamati ayahnya menari, Benny rajin berlatih di sejumlah sanggar pada kurun tahun 1999-2011.

”Saat SMA, saya suka tarian modern atau tari kreasi. Atas nasihat seniman Thoeseng TT Asang dari Sanggar Antang Batuah, saya mendalami seni dan budaya Dayak,” cerita Benny yang menjadi juri pada Pemilihan Duta Anti Narkoba dan Duta Tambun Bungai Kota Palangkaraya, Juli 2011.

Mengutip nasihat Thoeseng waktu itu, kata Benny, ”Tari kreasi sudah banyak ditarikan orang. Jika kita ingin tampil dan dipakai, belajarlah seni yang menjadi identitas budaya setempat. Ini unik dan banyak orang ingin tahu.”

Kemampuannya menari kreasi justru menjadi modal dia belajar seni Dayak. ”Saya masih tetap bisa menari kreasi sambil memperkenalkan dan melestarikan tarian Dayak,” ujar Benny yang menjadi penata tari pada produksi Sendratari Raja Terang Dunia yang Dimeteraikan, Desember 2010.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com