Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Agus Pahlevi, Penyebar Virus Pariwisata Belitung

Kompas.com - 23/05/2014, 16:11 WIB

Pelatihan terutama diberikan kepada pengelola warung, pengemudi mobil sewa, dan pelayan restoran. Mereka dilatih cara melayani pelancong agar betah dan puas memakai jasa mereka.

”Bisnis pariwisata itu mengandalkan kesan konsumen. Kalau kesan mereka bagus, pelancong akan menyebarkan ke lingkungan sekitarnya,” ujar dia.

Soal kesan negatif, hal itu memang kerap diterima Levi saat memulai bisnis. Banyak pelancong mengeluhkan pelayanan yang kurang sopan. Pedagang yang menyajikan makanan tanpa memakai baju, pengemudi berpakaian lusuh, hingga pelayan yang sulit tersenyum.

Jika protes itu dibiarkan, pariwisata Belitung yang baru menggeliat bisa mati. Oleh karena itu, dia berinisiatif melatih mereka yang terlibat dalam bisnis pariwisata.

”Sekarang tak ada lagi pedagang makanan di Belitung yang melayani tamu hanya dengan kaus dalam. Pengemudi juga memakai kemeja.”

Pelatihan tidak dia berikan sekali saja. Jika ada orang yang terlihat menurun kualitas layanannya, Levi kembali menawarkan pelatihan dan tetap gratis.

Menjaga ”kue”

Pariwisata Belitung semakin bergairah, tetapi Levi merasakan kegelisahan baru. Sebagian pantai yang menjadi andalan obyek wisata terancam privatisasi. Hal itu dipicu peralihan kepemilikan lahan di sekitar obyek wisata dari warga kepada pemodal luar.

”Belitung membutuhkan investor, tetapi bukan spekulan tanah berkedok investor. Beli tanah dekat obyek wisata, lalu mereka biarkan selama bertahun-tahun, sampai harga naik dan dijual lagi,” kata dia.

Kalaupun tak dijual, akses ke obyek wisata terancam ditutup untuk umum. Obyek wisata itu hanya boleh diakses pengunjung yang membayar kepada pemilik lahan.

”Sudah banyak pantai yang diperlakukan seperti itu. Pengusaha membuka resor, dan pantai hanya bisa dinikmati pengunjung resor,” ujar Levi.

Hal itu membuat Belitung kehilangan salah satu daya tariknya. ”Orang kenal Belitung karena pantainya. Kalau pantai tak bisa diakses publik, pariwisata Belitung bisa kehilangan modal,” kata dia.

Tak hanya akses hilang akibat kepemilikan pribadi. Banyak pantai juga tak memiliki fasilitas pendukung, seperti kamar kecil dan taman. Fasilitas itu tak dibangun pemilik lahan.

”Sementara pemerintah tak bisa membangun di lahan yang bukan milik negara. Kalau pemerintah mau membangun, harus ada pembebasan lahan dulu,” ucap Levi.

Privatisasi oleh pemodal juga membuat banyak warga tak bisa menikmati ”kue” bisnis pariwisata. Pedagang di Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi, lokasi shooting Laskar Pelangi, misalnya, sudah berkali-kali diusir pemilik lahan.

Ia berusaha mengingatkan warga agar menjadi pemain dalam bisnis pariwisata. ”Saya bilang kepada kawan-kawan, kalau punya tanah dekat obyek wisata, jangan dijual, disewakan saja,” kata dia.

Levi tak ingin bisnis pariwisata di Belitung justru membuat warga terusir karena lahannya dikuasai pemodal dari luar.

”Kalau tanah sudah dijual, tak mungkin ada pemberdayaan warga. Mereka hanya diperdaya oleh pemodal. Mereka bisa menjadi kacung di rumah sendiri,” kata dia.

Bukan itu mimpi Levi saat merintis pariwisata di Belitung. Bukan itu harapan dia saat menyebarkan virus pariwisata dari kampung ke kampung.... (KRIS RAZIANTO MADA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com