Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Agus Pahlevi, Penyebar Virus Pariwisata Belitung

Kompas.com - 23/05/2014, 16:11 WIB
AGUS Pahlevi (30) pernah menjelajahi blog dan forum diskusi dunia maya dengan identitas palsu demi menyampaikan kenikmatan berwisata di Belitung, Kepulauan Bangka Belitung. Dia gigih mendatangi rumah demi rumah di Pulau Belitung dan mengajak penghuninya siap menyambut pelancong. Kini, sebagian besar orang di Belitung menunjuk dia jika ditanya siapa yang tahu banyak pariwisata Belitung.

"Sejak remaja, saya yakin Belitung punya potensi pariwisata yang tak kalah dibandingkan daerah lain di Indonesia. Tetapi, selama bertahun-tahun Belitung tak dilirik wisatawan," ujar ayah tiga anak itu.

Hingga 2007, banyak orang tak tahu Belitung. Orang melirik Belitung setelah serial novel dan film Laskar Pelangi beredar. ”Karya Andrea Hirata itu banyak membantu promosi pariwisata Belitung,” kata dia.

Padahal, soal pantai dengan pasir putih yang halus, air sejernih kristal, dan granit setinggi gedung dua tingkat, itu sudah lama disampaikan Agus lewat dunia maya. Jauh sebelum Laskar Pelangi beredar, dia sudah mempromosikan Belitung dengan berbagai cara.

”Saya menulis di milis-milis wisata dengan akun palsu, seolah-olah pelancong yang baru pulang dari Belitung. Saya tanggapi sendiri dengan akun lain. Entah berapa milis wisata saya ikuti,” ujar Levi, panggilannya.

Ia juga membuat blog untuk menginformasikan kenikmatan pelesir di Belitung. ”Banyak orang bertanya-tanya, saat saya mulai membangun bisnis pariwisata, apa bisa hidup? Mereka bilang, memang ada wisatawan ke Belitung?” kata dia.

Keraguan banyak orang itu tak mematahkan semangatnya. Dia terus menekuni bisnis pariwisata. ”Saya yakin pariwisata akan menjadi andalan Belitung walau saat saya memulai bisnis ini belum ada satu pun agen tur di Belitung,” ujar Levi.

Keliling kampung

Keyakinannya bertambah saat pelancong dari berbagai wilayah Indonesia dan luar negeri mengontak dia. Mereka meminta Levi mengantar mereka pelesir ke berbagai penjuru Belitung. ”Waktu itu saya belum mempunyai banyak paket. Mereka masih tertarik pantai, bekas penambangan timah, dan sekolah Laskar Pelangi,” kata dia.

Levi pun rajin berpromosi lewat berbagai kesempatan. ”Setiap di bandara, saya berbicara dengan beberapa orang. Saya tanya apa mereka kenal Belitung. Bukan menawarkan mereka untuk memakai jasa saya. Target saya, minimal mereka tahu Belitung.”

Selain sibuk promosi, ia rajin berkeliling kampung-kampung di Belitung. Demi menarik warga untuk berdiskusi soal pariwisata, ia kerap membawa minuman dan camilan.

Lewat berbagai diskusi itu, dia menyampaikan beberapa hal, misalnya pariwisata adalah harapan baru Belitung. Meski demikian, tak mudah mengajak orang percaya dengan hal yang relatif baru.

”Sampai sekarang saya masih sering menjelaskan, bagaimana alur uang dari pelancong kepada semua orang di Belitung. Banyak orang percaya, hanya pemandu wisata, pemilik restoran, atau hotel yang dapat uang dari wisatawan,” ujar dia.

Padahal, uang itu pada akhirnya mengalir kepada petani, nelayan, hingga buruh angkut di pasar. ”Restoran butuh ikan, sayur, dan bahan makanan lain. Dari mana dapatnya kalau bukan beli dari petani dan nelayan Belitung? Itu yang selalu saya sampaikan kepada kawan-kawan di sini,” kata dia.

Setelah semakin banyak orang mau terlibat dalam pariwisata, Levi lalu melatih sebagian orang Belitung agar terampil menghadapi pelancong. Pelatihan itu gratis.

Pelatihan terutama diberikan kepada pengelola warung, pengemudi mobil sewa, dan pelayan restoran. Mereka dilatih cara melayani pelancong agar betah dan puas memakai jasa mereka.

”Bisnis pariwisata itu mengandalkan kesan konsumen. Kalau kesan mereka bagus, pelancong akan menyebarkan ke lingkungan sekitarnya,” ujar dia.

Soal kesan negatif, hal itu memang kerap diterima Levi saat memulai bisnis. Banyak pelancong mengeluhkan pelayanan yang kurang sopan. Pedagang yang menyajikan makanan tanpa memakai baju, pengemudi berpakaian lusuh, hingga pelayan yang sulit tersenyum.

Jika protes itu dibiarkan, pariwisata Belitung yang baru menggeliat bisa mati. Oleh karena itu, dia berinisiatif melatih mereka yang terlibat dalam bisnis pariwisata.

”Sekarang tak ada lagi pedagang makanan di Belitung yang melayani tamu hanya dengan kaus dalam. Pengemudi juga memakai kemeja.”

Pelatihan tidak dia berikan sekali saja. Jika ada orang yang terlihat menurun kualitas layanannya, Levi kembali menawarkan pelatihan dan tetap gratis.

Menjaga ”kue”

Pariwisata Belitung semakin bergairah, tetapi Levi merasakan kegelisahan baru. Sebagian pantai yang menjadi andalan obyek wisata terancam privatisasi. Hal itu dipicu peralihan kepemilikan lahan di sekitar obyek wisata dari warga kepada pemodal luar.

”Belitung membutuhkan investor, tetapi bukan spekulan tanah berkedok investor. Beli tanah dekat obyek wisata, lalu mereka biarkan selama bertahun-tahun, sampai harga naik dan dijual lagi,” kata dia.

Kalaupun tak dijual, akses ke obyek wisata terancam ditutup untuk umum. Obyek wisata itu hanya boleh diakses pengunjung yang membayar kepada pemilik lahan.

”Sudah banyak pantai yang diperlakukan seperti itu. Pengusaha membuka resor, dan pantai hanya bisa dinikmati pengunjung resor,” ujar Levi.

Hal itu membuat Belitung kehilangan salah satu daya tariknya. ”Orang kenal Belitung karena pantainya. Kalau pantai tak bisa diakses publik, pariwisata Belitung bisa kehilangan modal,” kata dia.

Tak hanya akses hilang akibat kepemilikan pribadi. Banyak pantai juga tak memiliki fasilitas pendukung, seperti kamar kecil dan taman. Fasilitas itu tak dibangun pemilik lahan.

”Sementara pemerintah tak bisa membangun di lahan yang bukan milik negara. Kalau pemerintah mau membangun, harus ada pembebasan lahan dulu,” ucap Levi.

Privatisasi oleh pemodal juga membuat banyak warga tak bisa menikmati ”kue” bisnis pariwisata. Pedagang di Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi, lokasi shooting Laskar Pelangi, misalnya, sudah berkali-kali diusir pemilik lahan.

Ia berusaha mengingatkan warga agar menjadi pemain dalam bisnis pariwisata. ”Saya bilang kepada kawan-kawan, kalau punya tanah dekat obyek wisata, jangan dijual, disewakan saja,” kata dia.

Levi tak ingin bisnis pariwisata di Belitung justru membuat warga terusir karena lahannya dikuasai pemodal dari luar.

”Kalau tanah sudah dijual, tak mungkin ada pemberdayaan warga. Mereka hanya diperdaya oleh pemodal. Mereka bisa menjadi kacung di rumah sendiri,” kata dia.

Bukan itu mimpi Levi saat merintis pariwisata di Belitung. Bukan itu harapan dia saat menyebarkan virus pariwisata dari kampung ke kampung.... (KRIS RAZIANTO MADA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com